Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Banjir Barang Impor Jelang Lebaran, Industri Tekstil Lokal Kian Merana

Barang impor kain maupun pakaian jadi disebut telah mengambil alih pangsa pasar menjelang Lebaran tahun ini.
Pengunjung beraktivitas di kawasan pasar Tanah Abang di Jakarta, Rabu (6/4/2024). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pengunjung beraktivitas di kawasan pasar Tanah Abang di Jakarta, Rabu (6/4/2024). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkap barang impor kain maupun pakaian jadi telah mengambil alih pangsa pasar menjelang Lebaran tahun ini. Industri lokal kian terpuruk dan belum menunjukkan titik terang pemulihan. 

Ketua Umum APSyFI Redma G. Wirawasta mengatakan, produsen kini berharap untuk dapat menguasai pasar domestik pada periode masuk sekolah awal Juni. Hal ini dapat terjadi jika pemerintah serius mengendalikan impor. 

“Untuk Lebaran ini sudah agak terlambat karena barang-barang impor sebagian udah masuk, baik kain maupun langsung pakaian jadinya,” kata Redma kepada Bisnis, Kamis (16/1/2025). 

Salah satu kebijakan yang didorong yaitu revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8/2024 yang saat ini merelaksasi impor. Dia berharap agar pertimbangan teknis (Pertek) kembali diterapkan seperti pada Permendag Nomor 36/2023 sebelumnya. 

Sebagaimana diketahui, pemerintah tengah berupaya untuk melakukan evaluasi kembali kebijakan yang setahun terakhir disebut menjadi biang kerok kontraksi industri manufaktur nasional. 

“Secara langsung revisi akan mendorong kinerja di hilir khususnya di IKM [industri kecil menengah]. Berikutnya hal ini secara perlahan akan mendorong kinerja di industri kain, kemudian benang dan serat,” ujarnya. 

Di sisi lain, dia pun mendorong perbaikan pengawasan pada Ditjen Bea Cukai yang disebut menjadi penyebab impor ilegal mudah masuk ke pasar domestik. 

Dalam hal ini, Redma menerangkan industri ini sebenarnya memiliki potensi luar biasa untuk memberikan nilai tambah ekonomi. Namun, terancam oleh maraknya impor dan barang selundupan.

Dia pun memberikan gambaran terkait nilai tambah tersebut, di mana dari bahan baku seperti PX (Paraxylene) dibeli seharga Rp5.000 per 0,30 kg dapat menghasilkan nilai tambah menjadi 1 kg pakaian jadi senilai Rp104.000 atau naik hingga 200%.

Data APSyFI per 2023 mencatat terdapat kebutuhan konsumsi garmen domestik yang mencapai 2,26 juta ton. Jika melihat hal tersebut ditambah nilai konsumsi garmen dalam negeri sebesar US$15,18 miliar, artinya nilai ekonomi industri tekstil ini mencapai Rp235 triliun per tahun (asumsi kurs Rp15.500).

“Dari PX yang cuma Rp5.000 kali kuantitasnya, kita beli dari Pertamina hampir 600.000 metrik ton per tahun, jadi total nilainya sekitar Rp10 triliun. Dari Rp10 triliun itu, business size-nya bisa berkembang jadi Rp235 triliun,” jelasnya. 

Terlebih, kontribusi pajak dari industri tekstil juga signifikan. Dengan PPN sebesar 11%, Redma memperkirakan bahwa pemerintah bisa mengumpulkan hingga Rp25 triliun per tahun. Angka ini menunjukkan sektor tekstil tidak hanya penting sebagai pendorong ekonomi, tetapi juga sumber penerimaan negara.

Belum lagi dari kontribusi PPN impor tekstil, salah satunya komoditas kapas. Diketahui per 2023, konsumsi kapas di Indonesia mencapai 611.550 metrik ton dengan harga beli Rp31.000 per kilogram, artinya apabila impor kapas berjalan dengan benar, pajak yang dapat diterima negara sekitar Rp18,95 triliun per tahun.

“Dari PPN saja bisa mencapai Rp25 triliun. Ini menunjukkan betapa besar multiplier effect dari industri tekstil terhadap ekonomi nasional,” tambahnya.

Redma menegaskan pentingnya kebijakan untuk melindungi industri tekstil dari serangan impor dan selundupan. Salah satunya adalah dengan memperketat pengawasan di sektor hilir seperti kain dan garmen.

Selain itu, ia mendorong pemerintah untuk memprioritaskan penggunaan produk lokal dalam berbagai proyek, termasuk pengadaan seragam sekolah dan kebutuhan pemerintah lainnya.

"Jika impor terus menggempur, pabrik lokal yang memproduksi kain, benang, polyester, PTA, Paraxylene bakal mengalami tekanan berat dan terancam mati," pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper