Tanpa penerapan arrest of ship, pelayaran dan industri yang terkait di hulu, seperti galangan kapal, tidak akan sanggup bersaing dengan industri serupa di luar negeri. Indonesia akan sulit berkompetisi seperti dekade 1970-an, saat kapal-kapal nasional, baik penumpang maupun barang, berlayar ke Jepang, Eropa, Australia, Amerika. Ketika itu, industri pelayaran hanya kena pajak final 1,2% sehingga mengompensasi kewajiban ke perbankan yang besar.
INSA juga berharap pemerintah meletakkan pelayaran niaga sebagai lokomotif penggerak ekonomi tanpa pajak, tetapi wajib gunakan konten lokal.
"Ini harus dibuat secara berkala atau progresif berkelanjutan agar masyarakat dapat mengikutinya."
Di hulu, Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) menyesalkan langkah salah satu BUMN operator pelabuhan yang memesan kapal ke galangan pelat merah tanpa melalui mekanisme lelang, tetapi penunjukan langsung.
"Ini sesuatu yang tidak adil. Semestinya BUMN dan swasta diperlakukan setara. Lakukanlah melalui tender," kata Ketua Umum Iperindo Eddy K. Logam.
Eddy berpendapat BUMN semestinya masuk ke bisnis yang belum diminati swasta. Dengan demikian, perusahaan pelat merah berperan sebagai agen pembangunan negara.
Dia memberi contoh, BUMN galangan kapal semestinya bisa berfungsi sebagai katalis di kawasan Indonesia timur yang saat ini masih kekurangan galangan. BUMN dapat memanfaatkan lahan pemerintah daerah atau konsesi Pelindo.
"[Galangan] swasta mau investasi di timur sulit. Harus cari pinjaman ke bank, banknya maunya yang pasti-pasti saja. Kami sulit kasih forecast," jelasnya.