Bisnis.com, JAKARTA – Industri kimia dasar domestik diproyeksi akan tertekan sepanjang tahun ini lantaran permintaan industri hilir yang belum menguat.
Asosiasi Kimia Dasar Anorganik Indonesia (AKIDA) menyatakan pertumbuhan produksi industri kimia dasar tergantung pada permintaan industri hilir nasional. Asosiasi menilai kegiatan produksi beberapa industri hilir pasca-Lebaran belum menguat.
Ketua AKIDA Michael Susanto Pardi mengatakan lesunya kegiatan produksi di industri hilir salah satunya disebabkan oleh daya beli masyarakat yang cenderung melemah pasca-Lebaran. Selain itu, industri hilir lokal juga berkompetisi dengan barang-barang impor.
“Industri hilir lokal kena dampak regulasi post-border. Industri kimia dasar kebanyakan porsi supply ke industri keramik, detergen, makanan dan minuman, plastik, bank kendaraan, air bersih, tekstil, dan paper,” ujarnya kepada Binsis akhir pekan lalu.
Michael menuturkan industri-industri tersebut menggunakan bahan kimia baik di proses produksi atau sebagai bahan pembantu. Porsi bana kimia yang digunakan, menurutnya, bervariasi, tetapi tidak lepas dari bahan kimia dasar.
Berdasarkan focus group discussion yang digelar asosiasi, Michael mengatakan pelaku industri hilir mengalami penurunan produksi. “Dampaknya pembelian bahan baku kimia dasar dari kami juga berkurang.”
Selain serangan di industri hilir, katanya, industri kimia dasar pun menghadapi bahan kimia dasar impor yang membanjiri pasar. Michael mengemukakan hal tersebut disebabkan oleh implikasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Alhasil, banyak bahan kimia murah China yang diekspor ke Indonesia.
“Mungkin China terjadi kelebihan kapasitas karena tidak bisa ekspor ke AS. Kami berharap terjadi pemulihan paling cepat mungkin pada tahun 2020,” ujarnya.
Michael memberi contoh serapan sodium silicate yang menjadi bahan baku produksi keramik dan deterjen mengalami penurunan pada pasar domestik dan global. Penurunan serapan pada industri keramik, lanjutnya, disebabkan oleh pemberian saferguard yang belum efektif.
Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (ASAKI) menyatakan pemberlakuan safeguard memang dirasakan oleh keramik untuk segmen menengah ke bawah. Hal tersebut didorong oleh inisiasi pemerintah dalam program pembangunan sejuta rumah dan kucuran dana desa.
Sekretaris Jenderal ASAKI Erlin Tanoyo harga gas yang lebih tinggi dari negara lain membuat keramik Tanah Air tidak kompetitif di pasar global. Hal tersebut ditunjukkan dengan volume ekspor keramik lokal yang masih berkisar di level 5%. Di samping itu, tingginya biaya logistik juga memengaruhi performa produksi keramik nasional.
Idealnya dengan adanya safeguard investasi di dalam negeri akan tumbuh. Namun, pihaknya belum melihat adanya pemain maupun investasi baru yang masuk ke dalam negeri. Pasalnya, produk impor masih agresif menyerang pasar domestik.
Asaki, sambungnya, bersama pemerintah terus berupaya untuk mengendalikan produk impor dengan mengawasi mutu, mengendalikan volume impor, dan beberapa usaha lainnya yang masih dalam tahap diskusi. Alhasil, Erlin memproyeksikan volume produksi keramik di dalam negeri belum dapat melakukan akselerasi pada tahun ini atau hanya mencapai 7% hingga akhir tahun ini.