Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Serat dan Benang Minta Pemerintah Tekan Impor

APSyFI menilai kebijakan pembatasan impor perlu menjadi prioritas pemerintah terlebih dahulu sebelum memberikan insentif lainnya.
Ilustrasi industri berbahan baku benang./Bloomberg-David Paul Morris
Ilustrasi industri berbahan baku benang./Bloomberg-David Paul Morris

Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menilai kebijakan pembatasan impor perlu menjadi prioritas pemerintah terlebih dahulu sebelum memberikan insentif lainnya.

Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta menyatakan banyak perusahaan yang setop produksi karena tidak mampu menjual produk ke pasaran yang diisi oleh produk impor.

"Karena banyak yang setop produksi, insentif apapun jadi percuma. Impor harus disetop dulu sampai akhir tahun, kecuali untuk kawasan berikat dan KITE," katanya kepada Bisnis, Selasa (13/8/2019).

Setelah impor dibatasi, katanya, baru diberikan insentif fiskal. Redma mengatakan insentif yang paling manjur adalah pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN). "PPN antar subsektor dihapus diganti dengan pajak final di hilir," katanya.

Insentif lain yang diharapkan pelaku industri tekstil untuk menekan defisit neraca dagang adalah Kemudahan Lokal Tujuan Ekspor (KLTE) sebagai penyeimbang Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE). Hal itu bertujuan agar penggunaan bahan baku dalam negeri bisa menggantikan bahan baku impor.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan pihaknya siap menggunakan seluruh instrumen fiskal yang ada untuk memecahkan masalah current account deficit (CAD).

"Kami siap menggunakan instrumen fiskal untuk membantu kementerian terkait dan juga inisiatif dari pemda untuk bisa meningkatkan ekspor," ujarnya, Selasa (13/8/2019).

Pihaknya akan membantu kementerian dan pemda terkait dalam memecahkan masalah tersebut. Kementerian-kementerian yang dimaksud antara lain Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, hingga Kementerian Pertanian.

CAD pada kuartal II/2019 melebar dari 2,6% PDB atau US$7 miliar menjadi 3,04% PDB atau US$8,4 miliar.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper