Akan tetapi, kehadiran kapal ternak ini bukannya tanpa catatan. Sejumlah pelaku bisnis peternakan menilai keberadaan tol laut belum efektif dalam mendorong efisiensi logistik.
Direktur Operasional PT Berdikari (Persero) Oksan Panggabean belum lama ini menyebutkan pihaknya terakhir kali menjajal pengapalan dari NTT ke Jakarta pada 2016 silam.
Meski terdapat subsidi sebesar 50% untuk menekan biaya pengiriman sapi yang belum memenuhi kapasitas angkut, Oksan menyebutkan perseroan tetap harus merogoh kocek untuk memulihkan sapi yang bobotnya susut selama perjalanan.
“Jika telah melalui jarak jauh akan ada penyusutan bobot, sehingga dari segi harga pun tidak bisa bersaing dengan daging sapi impor,” tutur Oksan.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mencatat pemanfaatan kapal khusus ternak sejatinya bisa menekan risiko penyusutan bobot sapi dari 15%— 20% menjadi 9% seiring diterapkannya praktik yang menekankan pada animal welfare.
Hal ini pun dibenarkan Sekretaris Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) NTT Beni Subagiyo yang menyebutkan pemulihan sapi yang dikirim dengan kapal khusus ternak cenderung lebih pendek dibanding pengiriman dengan kargo.
“Pemulihan itu tidak terhindari, tapi secara teori menggunakan kapal ternak yang tol laut memang pemulihannya lebih cepat karena tingkat stres hewannya tidak seperti kalau menggunakan kapal kargo,” kata Beni kepada Bisnis.