Bisnis.com, JAKARTA - Bahlil Lahadalia resmi menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menggantikan Thomas Lembong.
Dengan demikian, untuk 5 tahun ke depan Bahlil akan banyak berurusan dengan persoalan investasi, khususnya mencari strategi untuk menarik investasi sebanyak-banyaknya.
Pria yang merupakan eks Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) 2015 - 2019 itu memiliki latar belakang cukup unik di mana pernah menjadi supir angkot yang kemudian tercatat sebagai pengusaha.
Kendati demikian, tugas Bahlil tidak mudah, selain memastikan investasi masuk, Bahlil harus bisa menjamin Indonesia bisa bersaing dengan beberapa negara lainnya, terutama Malaysia dan Vietnam. Belum lagi meningkatkan kualitas investasi yang masuk ke Indonesia.
Dalam catatan Bisnis.com, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan oleh Kepala BKPM yang baru. Pertama, data BKPM menunjukkan bahwa realisasi investasi terus melambat dan hal ini sangat nampak pada data realisasi investasi per 2018.
Investasi di Indonesia hanya tumbuh 4,1% pada 2018 dibandingkan dengan 2017. Lebih lanjut, pada 2018 juga tercatat bahwa pertumbuhan PMA mengalami pertumbuhan negatif sebesar -8,8%.
Kedua, sektor yang diminati investor juga nampak mulai bergeser dari sektor yang diprioritaskan pemerintah.
Seperti diketahui, pemerintah menginginkan agar penanaman modal masuk ke sektor industri manufaktur yang padat karya agar mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi serta membuka lapangan kerja baru.
Namun, data BKPM justru menunjukkan bahwa investor semakin tertarik untuk berinvestasi di sektor jasa ketimbang kepada sektor industri manufaktur.
Pada 2014 hingga 2016, industri manufaktur masih tercatat menyerap investasi paling banyak dengan komposisi sebesar 43% hingga 54,8% dari keseluruhan realisasi investasi.
Ketiga, incremental capital output ratio (ICOR) tercatat masih pada angka 6,3 pada 2018, lebih tinggi dibandingkan dengan pesaing Indonesia pada level global seperti India dan Vietnam yang mencatatkan ICOR masing-masing sebesar 4,64 dan 4,31. Hal ini menunjukkan bahwa secara makro investasi di Indonesia masih tidak efisien.