Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman juga mengakui bahwa praktik pungli masih sering dialami oleh para sopirnya di lapangan.
“Kalau dari laporan pengemudi dan staf kantor saya, masih terjadi. Biasanya masalah izin yang sudah tidak berlaku lagi yang dipertanyakan. Contohnya izin bongkar muat, tetapi lebih banyak dilakukan oleh preman,” tuturnya.
Meski begitu, dirinya mengakui bahwa praktik pungli tersebut bisa terjadi juga lantaran ada faktor pelanggaran dari pengusaha truk itu sendiri yang tidak taat aturan, seperti muatan yang berlebih.
“Jadi, ada juga kasus yang memang karena adanya oknum pengusaha truk yang sengaja melanggar, hingga akhirnya terjadi transaksi damai antara sopir dan oknum aparat. Ada juga pungli yang memang dari preman,” terangnya.
Dia merasakan selama ini telah terjadi perbaikan bahwa aksi pungli oleh aparat telah berkurang. Namun, pungli yang dilakukan oleh preman masih sering terjadi di banyak lokasi seperti di Pelabuhan Tanjung Priok dan jalan Lintas Sumatra.
Pihaknya sangat berharap persoalan klasik tersebut dapat segera diselesaikan oleh pemerintah, demi menjaga kelancaran arus logistik maupun menekan tingginya biaya logistik di Tanah Air.
PARADIGMA BARU
Sebagai salah satu wilayah yang dinilai sering sebagai tempat praktek pungli, Kepala Dinas Perhubungan Jawa Barat Heri Antasari angkat suara. Dia mengklaim semenjak menjabat sebagai Kadishub Jabar pada Maret 2019, telah menetapkan paradigma baru dalam memimpin institusi perhubungan.
“Saya minta ada paradigma baru, tidak ada lagi pungli, gratifikasi dan suap di jajaran Dinas Perhubungan. Sejak awal saya menjabat, di setiap kesempatan saya sampaikan,” katanya.
Menurutnya, agar tak hanya omong kosong, dirinya juga memastikan tidak lagi ikut campur dalam urusan proyek di kedinasan. “Jangan sampai kita bisa teriak tidak ada pungli, tetapi saya menekan anak buah meminta sesuatu. Ini komitmen pimpinan. Kalau ada kejadian , tidak akan ada back up,” ujarnya.
Meski begitu, Heri mengaku sampai saat ini dirinya belum menerima laporan adanya pungli di lapangan. Menurutnya, satu dua kasus yang ditindak dan terima laporannya berasal dari layanan di loket pelayanan Dishub Jabar.
“Ada surat kaleng beberapa, saya sudah tindak. Namun, kalau di lapangan saya belum menerima. Apalagi kalau itu di Dishub kabupaten/kota bukan kewenangan saya,” tuturnya.
Pihaknya mengaku sudah memetakan penyebab pungli di lapangan, terutama yang menyangkut angkutan barang dan angkutan orang di darat yang masih marak.
“Sosialiasi perubahan mindset belum sampai ke seluruh tingkatan atau level dishub kabupaten/kota. Ini dipengaruhi juga banyaknya tenaga perhubungan yang tidak tersentuh pendidikan karena mereka bukan PNS,” paparnya.
Menurutnya, pertama, sekitar 70% tenaga Dinas Perhubungan di Jabar mayoritas diisi oleh tenaga teknis non-PNS yang sifatnya kontrak. Menurutnya, pemahaman soal integritas rutin disampaikan pada PNS di berbagai level, mulai dari nonstruktural hingga struktural.
Kedua, dia menilai kejadian pungli di lapangan juga muncul karena masih rendahnya kesejahteraan non-PNS tersebut. Menurutnya, karena tidak mengandalkan gaji dan hanya honor, kondisi yang tidak memadai ini menjadi alasan mereka mempraktikkan pungli di lapangan.
Ketiga, kasus pungli juga muncul karena faktor publik sendiri. Dia mengatakan lazimnya perusahaan angkutan, supir angkutan barang dan orang masih secara sadar memberikan uang pungli pada petugas. “Mereka masih memiliki mindset segala sesuatu bisa diselesaikan secara transaksional,” tuturnya.