Bagaimana perkembangan industri diaper saat ini?
Terus terang pertumbuhannya luar biasa. Pada waktu saya masuk di industri ini, masih sedikit pemain. Pada waktu saya impor, paling hanya 3—4 pemain. Kalau sekarang, yang tercatat di asosiasi ada 9 pabrik, di luar itu masih ada beberapa pabrik lahir, total mungkin 15 atau 19 pabrik. Pemain impor saja dulu juga cuma 3—4.
Bagaimana dari sisi demand, apakah memang ada?
Kalau bicara sisi demand, di Indonesia ini lucu. Kalau bicara baby diapers, demand-nya luar biasa besar, tetapi dikuasai oleh pemain besar. Jadi, pemain pemain kecil yang mau masuk agak kesulitan, walaupun ceruk pasarnya besar.
Konsumen Indonesia juga mindset-nya terlalu asing minded. Makanya, tidak heran kalau Presiden Jokowi selalu mendorong merek lokal, karena konsumen Indonesia masih menganggap merek luar segalanya. Padahal, produksi merek lokal juga bagus, baik dari segi kualitas maupun harga.
Yang agak sedikit menyedihkan, ada retail yang mendahulukan produk luar daripada produk dalam negeri dengan alasan, penjualan produk luar lebih tinggi. Padahal kami juga bisa buktikan, bahwa produk popok dewasa kami, di gerai-gerai lokal, kami bisa kalahkan merek luar dari segi penjualan, harga, dan kualitas. Bisa dibuktikan kok.
Bagaimana perkembangan produk yang Anda jual saat ini?
Seiring dengan berjalannya waktu, saya lebih memilih produksi merek saya sendiri, yakni OTO. Dari nama saya sendiri, gampang. Karena saya tidak mau pusing atau ribut masalah merek.
Kalau perkembangan produksinya, dari semula produksi satu tipe perekat, sekarang kami juga produksi tipe pants atau celana. Termasuk, kami produksi sendiri pembalut wanita dengan tipe celana. Ada juga pemain di tipe ini, tetapi dia masih impor. Yang produksi sendiri di Indonesia, baru kami. Kebetulan, konsumen kami dari Korea sudah tertarik.
Apa keunggulan produk Anda dibandingkan dengn kompetitor?
Saya memproduksi ini dari nol kecil, merangkak, hingga berkembang saat ini. Kami ini skala perusahaan kecil. Nah, kalau besar itu mereka punya bujet untuk promosi besar-besaran, sedangkan kami tidak punya bujet sebesar mereka. Lantas keunggulan kami harus dari kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan mereka dan harga harus di bawah mereka. Itu saja kuncinya.
Apa yang bisa kami bikin lebih dari mereka, misalkan daya serap, ya kami bikin lebih dari mereka. Lalu secara harga, kami hitung, kuat enggak di bawah mereka, ternyata kuat. Bisa. Mungkin di perusahaan besar karena biaya promosinya besar maka jatuhnya juga dibebankan ke komponen harga produk.