Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Berani Hemat Pakai Cokelat?

“Energi masa depan akan bersumber dari tanaman, buah, rumput—hampir apa saja.”

“Energi masa depan akan bersumber dari tanaman, buah, rumput—hampir apa saja.”

Tidak banyak orang percaya ketika Henry Ford—pencetus revolusi transportasi asal Amerika Serikat (AS)—mengucap kalimat itu satu abad yang lalu.Namun seiring berjalannya waktu, dunia semakin sadar akan pentingnya mencari sumber energi baru.

Apa sebab? Energi fosil yang biasa kita gunakan memiliki segudang dampak negatif bagi kelestarian lingkungan. Sebut saja polusi, efek gas rumah kaca, hujan asam, hingga pemanasan global.

Selain merusak lingkungan, hasil pembakaran energi fosil juga berdampak buruk bagi kesehatan. Asap kendaraan dan pabrik di kota besar, misalnya, akan menyebabkan kita sesak napas.Itulah mengapa, kita lebih suka menghirup segarnya udara di desa atau pegunungan ketimbang di daerah perkotaan.

Lagi pula, energi fosil bukanlah komoditas abadi. Cepat atau lambatstoknya akan habis. Kalau boleh jujur, sekarang pun kita sudah dikejar tenggat. Adalah prediksi Oxford University (2017) yang mengatakan cadangan energi fosil akan habis dalam 100—150 tahun lagi.

Sayangnya, ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil masih sangat tinggi. KajianInstitute for Essential Services Reform (IESR) bertajuk Indonesia’s Coal Dynamics: Toward A JustEnergyTransitionmenyebut komposisi bauran energi kita berasal dari minyak bumi (42,1 persen), batubara (30,3 persen), dan gas bumi (21,3 persen). Itu artinya, sekira 93,7 persen energi yang dikonsumsi di negeri ini tidak dapat diperbarui.

Upaya mengurangi ketergantungan energi fosil sebenarnya sudah lama dicanangkan. Melalui PP No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah menargetkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) ditingkatkan menjadi 23 persen pada 2025.

Jika dihitung, waktu yang tersisa kurang dari 6 tahun lagi. Dalam tempo yang relatif singkat, kita harus mengejar ketertinggalan pemanfaatan EBT yang saat ini baru mencapai 6 persen saja.

Berbagai upaya pencarian sumber alternatif EBT pengganti batubarapun terus dilakukan.Saat ini, banyak penelitian yang berhasil menemukan teknologi penghasil EBT berbahan baku zat organik.Mulai dari kelapa sawit, singkong, hinggatebu.Bahkan, beberapa penelitian sukses memanfaatkan limbah industri organik sebagai bahan baku energi alternatif.

Hanya saja, penerapan hasil penelitian di lapangan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Teknologi ramah lingkungan tersebut sering kali gagal mencapai pasar. Alasannya klasik: ongkos produksinya tidak mampu menandingi murahnya harga jual batubara.

Itu sebabnya, batubara masih mendominasi pangsa bauran energi pembangkit listrik hingga saat ini. Data Kementerian ESDM pada 2017 menyebut 57,22 persen aliran listrik di Indonesia masih dipasok oleh batubara.

Oleh karena itu, mencari sumber EBT saja tidak cukup. Kita juga harus bisa menekan biaya produksi EBT hingga—paling tidak—setara dengan batubara. Syukur-syukur kalau bisa lebih hemat. Tanpa diminta, pelaku industri pasti akan melupakan batubara.

Sekarang, kita hanya perlu menjawab satu pertanyaan. Adakah sumber EBT yang memenuhi kriteria demikian?

 

Kulit Cokelat Lebih Hemat

Untuk memperoleh sumber EBT hemat, ada baiknya kita tilik hasil temuan LIPI. Belum lama ini, Dr. Dieni Mansur—seorang ilmuwan LIPI—berhasil menemukan teknologi penghasil bio-oilberbahan baku kulit cokelat.

Temuan itu ia publikasikan pada 2014 lewatjurnal bertajuk Conversion of Cacao Pod Husks by Pyrolysis and Catalytic Reaction to Produce Useful Chemicals. Menurutnya, bio-oil adalah sumber EBT yang berpotensi menggantikan kedudukan batubara sebagai sumber tenaga listrik.

Bio-oiladalah bahan bakar cair berwarna hitam pekat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Di kalangan ilmuwan, bio-oil lebih dikenal dengan nama pyrolysis-oil, mengingat teknik yang digunakan untuk menghasilkan minyak ini disebut dengan pyrolysis.

Bio-oil dikenal punya banyak manfaat. Di bidang pangan dan kesehatan, bio-oil digunakan sebagai bahan dasar pembuat cuka dan cairan antiseptik. Sedangkan di bidang energi, bio-oillazim dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin pengapian terbuka, seperti mesin diesel pada kapal laut.

Namun demikian, manfaat yang paling berharga dari bio-oil adalah sumber bahan bakar alternatif. Dengan menggunakan mesin dan teknologi yang tepat, pembakaran bio-oil akan menghasilkan uap untuk memutar turbin penghasil energi listrik.

Kulit cokelat—bahan baku bio-oil—sebenarnya berasal dari limbah perkebunan cokelat. Cokelat yang kita makan sehari-hari berasal dari biji cokelat. Sedangkan kulit cokelat, hampir tidak memiliki nilai ekonomis. Biasanya dijadikan sumber pakan ternak atau dibiarkan begitu saja oleh petani cokelat.

Namanya saja limbah, pasti punya dampak buruk bila tidak diolah. Kulit cokelat pun begitu. Bila dibuang begitu saja, kesuburan tanah akan berkurang.Mengolah kulit cokelat menjadi bio-oil, sama artinya dengan menjaga kelestarian lingkungan.

Tahun lalu, penulisbersyukur bisa bersua dengan Dieni secara langsung. Sebagai analis ekonomi, penulis diminta untuk menghitung biaya produksi bio-oil. Tujuannya untuk menjawab satu pertanyaan: apakah kulit cokelat cukup hemat untuk menggantikan peran batubara sebagai bahan baku energi listrik?

Benar saja, hasilnya cukup mencengangkan. Biaya produksi bio-oil berbahan baku kulit cokelat 20—30 persen lebih hemat dibanding batubara. Plus, tingkat kalori yang dihasilkan pun setara dengan 5.200 kcal—lebih tinggi ketimbang kandungan kalori batubara (4.400 kcal) yang lazim digunakan PLN.

Andai PLN bisa mengadopsi teknologi ini pada PLTU-nya, maka biaya produksi listrik akan jauh lebih murah. Studi IESR berjudul Kebijakan Tarif Listrik di Indonesia mengatakan harga jual listrik PLN selalu lebih rendah dibanding ongkos produksinya.

Demimenambal selisih tersebut, pemerintah terpaksa turun tangan dengan memberi subsidi. Lazim diketahui, anggaran subsidi listrik kita tidaklah sedikit. Tahun ini saja, anggaran subsidi listrik mencapai Rp59,3 triliun, naik 24 persen dibanding realisasi tahun lalu. Dengan beralih ke bio-oil,anggaran subsidi listrikseyogianya bisa dikurangi.

Lagi pula, kita tidak perlu khawatir memikirkan ketersediaan kulit cokelat.Indonesia adalahnegara penghasil cokelat terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.Sepanjang 2017 saja, produksi cokelat kita mencapai 290 ribu metrik ton. Nilai ekspor biji cokelat pada periode yang sama mencapai 55,5 juta Dolar AS.

Fakta tersebut sekaligus mengafirmasi penelitian Rogers dan Brammer (2011). Ilmuwan asal Inggris itu berpendapat bahwaharga bio-oilbisa lebih murah ketimbang energi fosil. Asalkan, bahan baku biomassa—seperti kulit cokelat—dapat diperoleh dengan mudah dan murah.

Bukankah keunggulan komparatif ini sudah dimiliki oleh negeri kita tercinta?

 

Perlu Kesadaran Bersama

Untuk mencapai target 23 persen bauran EBT pada 2025, diperlukan kesadaran bersama. Dari sisi produsen, belum banyak pelaku industri yang tertarik memproduksi EBT. Akibatnya, alat penghasil bio-oilbelum diproduksi secara massal.

Andaikanjumlah produsen EBT meningkat, maka permintaan teknologi bio-oilpun akan turut melesat. Alhasil, biaya investasi teknologi ramah lingkungan menjadi lebih efisien.

Selain itu, peran pemerintah sebagai regulator juga tidak bisa dikesampingkan. Langkah menerbitkan aturan target bauran energi jangka panjang sudah tepat. Hanya saja, insentif bagi industri yang menggunakan EBT masih sangat minim. Ini yang perlu diperhatikan bila target bauran EBT ingin tercapai.

Sama halnya dengan konsumen. Kesadaran industri untuk menggunakan EBT harus lebih ditingkatkan. Sebab manfaatnya sudah sangat jelas: ramah lingkungan, bersih, abadi, bahkan kini sudah ada yang lebih hemat.

Pada akhirnya, kuncinya kembali kepada diri kita. Teknologinya sudah ada, bahan baku cokelat pun bisa didapatkan dari mana saja. Asalkan terus berusaha dan meningkatkan kesadaran sedikit saja, niscaya asa menggantikan batubara dengan kulit cokelat bukanlah isapan jempol belaka. [Adhi]


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Adhi Nugroho
Editor : Media Digital
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper