Gelisah kontan merundung hati petani garam pasca ditetapkannya kuota impor garam oleh pemerintah.Tahun ini, limit impor garam dibuka hingga 2,7 juta ton. Meskipunmenurun dibanding tahun lalu (3,7 juta ton), kegelisahan petani garam tidak serta-merta sirna. Pasalnya, kuota impor garam 2019mirip-mirip dengan realisasi impor 2018 yang mencapai 2,8 juta ton. Singkat kata, sebelas-dua belas—sama saja.
Sebenarnya, ada satu hal lagi yang membuat petani garam gelisah dengan kebijakanpemerintah. Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI), Jakfar Sodikin, menjelaskan bahwa stok garam pada awal 2019 surplus 1,6 juta ton. Pemberian izin impor hingga 2,7 ton dikhawatirkanakan menyebabkan harga garam nasional semakin tertekan. Artinya, pendapatan dan kesejahteraan petani garam menjadi terancam.
Di sisi lain, ada alasan kuat mengapa pemerintah membuka keran impor garam. Salah satunya adalah sebagai langkah antisipasi bilamana produksi garam nasional tidak sesuai harapan. Seperti tahun 2016, misalnya. Kala itu, produksi garam lokal hancur-hancuran akibat La Nina. Dari rata-rata 2 juta ton, produksi garam melorot hingga 213 ribu ton.Suka tidak suka, keran impor pun kembali dibuka untuk memenuhi kebutuhan garam nasional.
Jika boleh jujur, pemerintah sebenarnya tidak abai pada kelangsungan bisnis petani garam. Berbagai program sudah diluncurkan untuk menggenjot produksi. Salah satunya adalah Program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) yang diinisiasi oleh KKP sejak 2011. Di atas kertas, PUGAR terbilang cukup sukses lantaran berhasil meningkatkan produktivitas garam dari 23,67 ton per Ha menjadi 43,02 ton per Ha pada 2014.
Namun demikian, PUGAR tampaknya belum bisa menjaga kontinuitas produksi garam. Seperti yoyo, produksi garam nasional cenderung naik turun. Akar masalahnya ada tiga, yakni cuaca, teknologi, dan pengelolaan yang masih sederhana. Alhasil, meski produksi garam rakyat melejit ke angka 2,35 juta ton pada 2018, tetap saja tidak ada jaminan bahwa produktivitas akan terus terjaga—setidaknya untuk tahun ini.
Maka dari itu, industri garam nasionalmemerlukan suatu terobosan anyar. Bukan hanya pemberdayaan dan peningkatan produktivitas, tetapi juga menemukan cara yang pas agar pengelolaan industri garam bisa naik kelas. Tidak lagi sederhana, tiada lagi ala kadarnya. Supaya produksi tetap terjaga, kucuran impor pun dapat ditekan seminimal mungkin.
Berkaca pada kesuksesan negara pengekspor garam terbesar dunia, solusi menerangi guramnya industri garam nasional hanya satu: industrialisasi. Cara ini belum ditempuh secara serius, baik oleh pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu, ada satu pertanyaan yang perlu segera dijawab.Bagaimana caramembangunindustrialisasi garam nasional?
LimaUpaya
Sesuai kaidahnya, industrialisasi berarti perubahan cara produksi untuk menciptakan nilai tambah, dengan memanfaatkan sumber daya dan teknologi terkini.Dalam mewujudkan industrialisasi garam nasional, pemerintah tidak bisa sendirian. Diperlukan peran serta korporasi swasta. Singkat kata, setidaknya ada lima hal yang mesti dilakukan.
Pertama, perbaikan data. Setiap kali pemerintah hendak memutuskan kebijakan impor garam, cerita yang sama selalu berulang: perbedaan data di antara kementerian/lembaga. Padahal, penentuan jumlah kuota impor sejatinya berangkat dari data. Jika acuan datanyasalah, maka kebijakan yang diambil pasti keliru. Alhasil, ekuilibrium harga garam nasional yang menjadi taruhan.
Oleh karenanya, data garam harus diperbaiki. Caranya, biarkan BPS—lembaga nonteknis yang tidak memiliki kepentingan—yang bertanggung jawab menyajikan data garam nasional. Jangan seperti sekarang.Baik KKP, Kemenperin, Kemendag, maupun BPS, semua punya databerbeda. Sinergi antarlembaga boleh-boleh saja. Asalkan, BPS tetap menjadi pangkalnya.
Kedua, peningkatan iklim investasi. Meski garam berstatus komoditas strategis nasional, pemain besar industri garam nasional tidaklah banyak. Praktis, korporasi besardi sektor pergaraman hanya ada PT Garam, yang memiliki sumbangsih sekira 12—17 persen terhadap produksi garam nasional. Selebihnya, produksi garam nasional hanya mengandalkan keringat petani lokal.
Padahal, potensi garam sangatlah besar. Dalam delapan tahun terakhir, rata-rata peningkatan kebutuhan garam nasional mencapai 5 persen per tahun.Hanya saja, kinerja produksi garam tidaklah menentu. Itulah mengapa, celah (gap) antara produksi dan kebutuhan garam selalu ditutupi oleh kebijakan impor. Seharusnya, peluang ini bisa dimanfaatkan oleh korporasi swasta.
Supaya pihak swasta tertarik berinvestasi di industri garam, pemerintah harus turun tangan. Misalnya dengan cara memberikan insentif, mulai dari tax holiday, deregulasi perizinan, hingga kemudahan aktivitas ekspor. Alokasi pabrik dan gudang garam bagi swasta di berbagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), misalnya, juga bisa menjadi pertimbangan.
Ketiga, penguatan sinergi. Seperti yang diutarakan Kemendag, salah satu masalah yang dihadapi petani garam adalah keterbatasan lahan dan modal. Sebagian besar petani garam tidak memiliki lahan dan hanya mengandalkan pola sewa—seluruh biaya produksi ditanggung oleh petani. Biaya produksi pun menjadi lebih mahal. Alhasil, banyak petani garam yang kemudian terjerat oleh iming-iming pembayaran di muka oleh tengkulak. Ini yang menyebabkan petani garam lokal sulit berkembang.
Oleh karena itu, pola sinergi korporasi-petani garam yang dilakukan oleh PT Garam bisa menjadi contoh dalam mengembangkan industrialisasi garam nasional. Petani yang bekerja untuk PT Garam berperan layaknya seorang pegawai: melakukan tugasnya kemudian digaji. Cara ini bisa turut dilakukan oleh korporasi swasta, supaya petani lebih sejahtera dan profesional.
Keempat, menciptakan variasi.Hampir seluruh industri garam nasional berasal dari penguapan air laut dengan tenaga surya (solar evaporation). Alhasil, produksi garam nasional hanya bisa dilakukan pada musim kemarau. Dalam setahun, praktis hanya 4—5 bulan petani garam bekerja memproduksi garam.
Oleh karena itu, langkah selanjutnya adalah menciptakan variasi untuk menjaga pelaku usaha garam tetap produktif. Misalnya dengan cara mengembangkan peternakan udang pada tambak garam semasa musim hujan. Variasi usaha ini akan memastikan pelaku usaha garam tetap memperoleh pundi-pundi Rupiah, sembari menunggu datangnya musim kemarau berikutnya.
Terakhir, pemanfaatan teknologi. Seperti yang sudah dijelaskan, teknologi yang digunakan oleh petani garam lokal masih sangat sederhana. Akibatnya, produktivitas garam nasional hanya mencapai 60 ton per Ha. Sangat jauh bila dibandingkan dengan Australia, misalnya, yang mencapai 350 ton per Ha.
Untuk menerapkan teknologi modern pada industri garam lokal, caranya hanya satu: belajar pada ahlinya. Mau tidak mau, kita mesti bekerja sama dengan negara pengekspor garam. Pada awal masa belajar, pola sinergi bagi hasil dengan pihak asing bisa menjadi pilihan. Setelah paham benar, barulah kemudian berjalan secara berdikari. Dengan demikian, industri garam nasional tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga kebutuhan garam dunia.
Mengurai permasalahan industri garam nasional memang tidak mudah. Di satu sisi, kesejahteraan petani garam harus diprioritaskan. Di sisi lain, kebutuhan industri akan pasokan garam yang berkualitas dan berkesinambungan juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Namun demikian, dilema itu bukanlah suatu alasan bagi kita untuk berlepas tangan dalam membangun industri garam nasional.
Lima langkah yang telah diuraikan, bisa menjadi awalan yang tepat dalam mewujudkan industrialisasi garam nasional. Dengan begitu, suatu saat nanti kita akan terlepas dari stigma klasik: negara dengan garis pantai terpanjang kedua, tetapi tidak bisa memenuhi kebutuhan garam bagi penduduknya sendiri.