Bisnis.com, JAKARTA – Organisasi Pangan Dunia (FAO) melaporkan bahwa wabah demam babi Afrika atau African swine fever (ASF) telah dikonfirmasi menjangkiti ternak babi di Indonesia.
Dalam laporan rutin di situs resminya, FAO menyebutkan bahwa Kementerian Pertanian mengumumkan secara resmi terjadinya wabah tersebut di Provinsi Sumatra Utara pada Kamis pekan lalu (12/12/2019). Laporan awal menyebutkan kolera babi (hog cholera) sebagai penyebab kematian, dengan virus ASF masih dalam tahap indikasi.
Sebagai upaya penanggulangan, FAO menyebutkan pihaknya tengah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktur Kesehatan Hewan pun disebut telah meminta rekomendasi FAO dalam hal pengendalian ASF.
"Tim FAO saat ini tengah menyusun draf rekomendasi pengendalian ASF yang sesuai dengan kondisi Indonesia," tulis FAO dalam laporannya yang dikutip Bisnis, Rabu (18/12/2019).
Bisnis telah mencoba menghubungi Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita untuk dimintai tanggapan mengenai laporan tersebut. Hingga berita ini ditulis, yang bersangkutan belum memberikan komentar.
Populasi babi di Sumatra Utara tercatat berjumlah 1,27 juta ekor berdasarkan statistik 2018. Populasi ini merupakan kedua terbesar setelah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berjumlah 2,43 juta ekor. Adapun sampai 13 Desember, Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatra Utara mencatat jumlah kematian babi telah mencapai 27.070 ekor.
Sampai saat ini, 11 negara Asia telah melaporkan wabah kematian babi akibat virus ASF sejak pertama kali dilaporkan menjangkiti peternakan di China pada Agustus 2018. Negara-negara ini mencakup Mongolia, Korea Utara, Korea Selatan, Filipina, Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Timor Leste.
ASF merupakan virus mematikan yang menyerang baik babi domestik maupun babi liar namun tidak menular pada manusia. Di China, setidaknya populasi babi berkurang 130 juta ekor atau 40% dari populasi total per September. Sementara itu, laporan Rabobank menyebutkan bahwa China telah kehilangan setidaknya 50% dari 440 juta ekor populasi babi yang berdampak pada menurunnya pasokan dan kenaikan harga.