Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menginstruksikan pakar kesehatan dalam negeri untuk mengembangkan vaksin virus demam babi Afrika (African swine fever/ASF) menyusul merebaknya wabah penyakit tersebut di Sumatra Utara pada tahun lalu.
Pengembangan vaksin mendesak untuk dilakukan dilakukan lantaran penyakit mematikan yang menyerang ternak babi tersebut belum memiliki penangkal sampai saat ini.
"Saat ini belum ada vaksin ASF yang efektif tersedia untuk pencegahan penyakit ini sehingga saya minta 12 Pakar Kesehatan Hewan Indonesia dari Unud, Unair, IPB, Unibraw, dan UGM, serta unit teknis di Kementan, untuk segera mengembangkan vaksin ASF ini," ungkap Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) I Ketut Diarmita dalam keterangan resmi, Jumat (24/1/2020).
Ketut menyebutkan virus penyebab ASF amat sulit ditangani karena bisa bertahan lama di benda dan lingkungan yang terpapar. Pelaksanaan strategi pengendalian dengan pengawasan lalu lintas, desinfeksi, disposal dan biosekuriti saat ini masih belum cukup membendung penyebaran penyakit.
"Pengembangan vaksin ASF ini diharapkan akan memberikan solusi ke depan untuk pencegahan penyakit," ucap Ketut.
Sementara itu, Kepala Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) unit pelaksana teknis (UPT) di bawah Ditjen PKH Agung Suganda menyatakan kesiapannya untuk mengawal dan memfasilitasi pengembangan vaksin tersebut. Hal itu diungkapkannya kala membuka Rapat Koordinasi Tim Pakar Pengembangan Vaksin ASF mewakili Dirjen PKH di Surabaya, Kamis (23/1/2020).
Dalam kesempatan yang sama, IGN Kade Mahardika, salah satu pakar dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, menyampaikan bahwa pembuatan vaksin ASF merupakan proses yang sangat kompleks lantaran penelitian dasar tentang hal ini belum mencukupi.
"Karakteristik biologis virus ASF sangat kompleks dengan genom yang besar, dan setengah protein virusnya tidak diketahui fungsinya. Begitu pula dengan mekanisme perlindungan terhadap ASF yang belum banyak diketahui," kata Mahardika.
Lebih lanjut, Mahardika juga menyampaikan bahwa pengembangan vaksin ASF sejauh ini masih terkendala pada penelitian tentang virus hidup yang terbatas dilakukan di laboratorium dengan tingkat biosekuriti yang tinggi. Kurangnya model hewan kecil yang tepat dan ekonomis untuk percobaan pun turut menghalangi pengembangan.
Oleh karena itu, dia mengemukakan pengembangan vaksin ASF bakal dilakukan dengan berbasis teknologi DNA rekombinan pada prokariota. Langkah ini dikerjakan dengan sistem chaperone kombinasi protein struktural dan nonstruktural yang aman dan dapat diproduksi cepat.
"Prosesnya sudah kami laksanakan dan saat ini master seed sudah siap untuk dibuatkan prototipenya di Pusvetma," tambahnya.