Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat Infrastruktur Indonesia (MII) meminta pemerintah melakukan hitung ulang terkait proyek infrastruktur yang sudah dilakukan dan yang akan dilakukan.
Ketua Umum MII Harun A. Lubis mengatakan dari sekian banyak proyek infrastruktur yang dilakukan, sebagian sudah selesai dan telah beroperasi. Namun, tidak semua semulus yang dibayangkan.
Menurutnya, masih ada catatan terkait rampungnya proyek infrastruktur tersebut. Terutama terkait besarnya biaya yang dikeluarkan dibandingkan kemungkinan beban biaya operasional yang diemban, seperti untuk jalan tol.
Apalagi saat ini masih ada daftar panjang terkait proyek-proyek strategis nasional yang akan dieksekusi. Di sisi lain, ada tambahan proyek infrastruktur dengan adanya rencana pindah ibu kota negara.
"Saya pikir, daftar panjang ini, 225 atau 227 [proyek infrastruktur pemerintah] atau nambah daftar baru lagi. Tanah napas dulu karena kita jangan lebih besar pasak daripada tiang, sehingga perlu daftar yang sangat super prioritas yang kita mampu untuk handle secara pajak lewat fiskal. Kalau mau berhutang, silahkan dikaji, hutangnya maksimum akan mampu memikul berapa. Jadi harus dihitung ulang semua," jelas Harun kepada Bisnis, Kamis (30/1/2020).
Dia mencontohkan misalnya jalan tol, jika ada kemungkinan biaya operasi di atas pendapatan yang diperoleh. Terdapat tantangan bagi operator untuk melakukan subsidi. Di sisi lain, ada kecenderungan BUMN didorong untuk berhutang cukup berlebih dari kemampuannya. Padahal, ada kemungkinan defisit operasional.
"Pemerintah, Pak Presiden bersama menterinya harus menghitung ulang dengan ketat, berapa kebutuhan subsidi semua infrastruktur yang sudah dibangun dan selesai, akumulasi kebutuhan subsidi harus dihitung betul dengan apa-apa yang mau dikerjakan yang baru," jelasnya.
Harun mencontohkan bagi operator untuk jalan tol di Trans Sumatra yang menghadapi tantangan biaya operasional dan volume kendaraan yang melintas.
Kemudian, Bandara Kertajati di Jawa Barat dengan koneksi jalan tol Cisumdawu yang terkendala pelunasan lahan sehingga belum juga rampung.
"Jadi kalau memang ada tanda-tanda agak kurang mampu, bahkan untuk yang krusial, harus dihitung betul, [jangan sampai] yang lain nanti akan kejadian seperti Kertajati dan Cisumdawu itu, bisa berlarut-larut," katanya.