Bisnis.com, JAKARTA — United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) memproyeksikan perekonomian global berada dalam ancaman resesi akibat eskalasi perang dagang akibat penerapan tarif resiprokal oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Dalam laporan terbaru bertajuk Trade and Development Foresights 2025: Under Pressure – Uncertainty Reshapes Global Economic Prospects, lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) itu memperkirakan pertumbuhan ekonomi global melambat ke 2,3% pada 2025.
Angka tersebut ada di bawah pertumbuhan 2,5%, yang merupakan ambang batas ancaman fase resesi global. Proyeksi tersebut sekaligus menandai perlambatan tajam dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan tahunan rerata periode sebelum pandemi, yang bahkan sudah lamban.
"Permintaan yang lemah, guncangan kebijakan perdagangan, turbulensi keuangan, dan ketidakpastian sistemik meningkatkan tekanan, khususnya bagi negara-negara berkembang," tulis laporan UNCTAD dikutip Minggu (20/4/2025).
UNCTAD menggarisbawahi bahwa ketidakpastian mendorong ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Masalahnya, pada awal 2025, indeks ketidakpastian kebijakan ekonomi mencapai level tertingginya dalam seabad terakhir.
Rinciannya, indeks ketidakpastian kebijakan ekonomi mencapai 460,2 pada Januari 2025. Angka tersebut menjadi yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir dimana mengalahkan rekor 436,7 saat awal pandemi Covid-19 atau pada Mei 2020.
Baca Juga
Sebagai perbandingan, UNCTAD mencatat rata-rata indeks ketidakpastian kebijakan ekonomi hanya berada di angka 100 selama 1997—2014.
Tak sampai situ, pada April 2025, peningkatan kekhawatiran atas prospek ekonomi global dan perubahan kebijakan perdagangan memicu turbulensi keuangan yang besar. Pasar mengalami koreksi tajam dan kerugian yang signifikan setelah berminggu-minggu mengalami volatilitas.
UNCTAD mencatat indeks ketakutan (fear index) finansial yang merupakan pengukur volatilitas pasar saham AS mencapai level tertinggi ketiga dalam sejarah yaitu 52,33. Angka tersebut hanya kalah dari indeks ketakutan saat pandemi Covid-19 di tahun 2020 dan krisis keuangan global 2008.
Belum lagi dinamisme perdagangan barang yang mulai memudar. Peningkatan perdagangan global pada akhir 2024 dan awal 2025 sebagian didorong oleh permintaan yang meningkat.
Hanya saja usai penerapan tarif baru diumumkan oleh Trump, peningkatan tersebut diperkirakan akan berbalik sepanjang tahun ini. UNCTAD mencatat, antara awal Januari dan akhir Maret 2025, Indeks Angkutan Kontainer Ekspor Shanghai Komprehensif yang merupakan barometer utama aktivitas pengiriman dan perdagangan internasional dimana mengalami penurunan hingga 40%.
Ketidakpastian kebijakan perdagangan, yang kini mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah (indeksnya mencapai 603,08 pada Maret 2025), diyakini sangat membebani keyakinan bisnis dan perencanaan jangka panjang.
Akibatnya, produsen dan investor menunda keputusan, menilai ulang strategi rantai pasokan, dan meningkatkan upaya manajemen risiko.
"Fragmentasi geoekonomi yang terjadi saat ini, jika tidak diatasi, dapat memperparah kemerosotan ekonomi," jelas laporan UNCTAD.
Di samping itu, UNCTAD melihat terdapat peluang dari ancaman tarif Trump yaitu meningkatkan perdagangan dan integrasi antara negara-negara berkembang atau Selatan-Selatan.
UNCTAD mencatat perdagangan antar negar Selatan-Selatan telah mencapai sekitar sepertiga dari perdagangan global—berkembang lebih cepat daripada arus perdagangan lainnya. Perdagangan intra-regional, khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara, membantu mendorong pertumbuhan tersebut.
Oleh sebab itu, UNCTAD pun memberikan lima rekomendasi kebijakan untuk meminimalisir dampak negatif dari eskalasi perang dagang yang terjadi belakangan.
Pertama, memperkuat koordinasi kebijakan regional dan internasional untuk memulihkan kepastian dalam arus perdagangan dan keuangan.
Kedua, meningkatkan kerja sama multilateral untuk menstabilkan pasar dan melindungi ekonomi yang rentan.
Ketiga, membangun hubungan perdagangan dan ekonomi yang ada antara negara-negara berkembang sebagai jalur menuju ketahanan dan penyangga terhadap guncangan global.
Keempat, menyeimbangkan kembali prioritas fiskal, beralih dari lonjakan belanja militer menuju infrastruktur berkelanjutan, perlindungan sosial, dan aksi iklim.
Kelima, menyelaraskan kebijakan fiskal, moneter, dan industri dengan tujuan pembangunan jangka panjang.