Bisnis.com, JAKARTA--Bank Dunia (World Bank) mencatat rasio pajak (tax ratio) Indonesia paling rendah dibandingkan negara berkembang lain (emerging and developing market economies/ EMDEs).
Ekonom Senior Bank Dunia Ekonom Senior Bank Dunia untuk Indonesia Ralph Van Doorn mengatakan penerimaan Indonesia dibandingkan rasio produk domestik bruto (Gross Domestic Product/GDP) atau revenue-to-GDP pada 2018 tercatat yaitu 14,6 persen.
Jumlah tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan negara berkembang lain yang rata-rata 27,8 persen.
"Penerimaan pajak terhadap GDP [tax-to-GDP ratio] hanya 10,2 persen dari total GDP pada 2018, realisasi itu termasuk yang paling rendah dibandingkan negara di kawasan regional dan negara berkembang lain," ujarnya dalam Media Briefing Online: Public Expenditure Review World Bank, Senin (22/6/2020).
Bukan itu saja, Ralph menyebutkan Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki perbedaan terbesar antara realisasi penerimaan dengan potensi pendapatan.
Berdasarkan riset yang dilakukan Bank Dunia, posisi rasio penerimaan pajak Indonesia jauh berada di bawah negara berkembang, misalnya Brasil, India, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Republik Dominika. Indonesia diketahui hanya unggul tipis dengan Sri Lanka.
Baca Juga
Rendahnya rasio pajak berdampak pada minimnya realisasi pengeluaran pemerintah untuk publik (public spending). Ralph mengungkapkan alokasi public spending Indonesia pada 2018 hanya 16,6 dari total PDB. Jumlah tersebut, lanjutnya, hanya setengah dari negara berkembang lain yang rata-rata menghabiskan 32 persen dari PDB.
"Pengeluaran pemerintah sempat meningkat pada periode 2003-2008 dan 2010-2013 lantaran melonjaknya harga komoditas. Namun, itu pun hanya mencapai 20 persen dari total PDB," jelasnya.
Dia mengungkapkan ada empat tantangan yang dihadapi pemerintah agar bisa meningkatkan pendapatan dari pajak. Pertama, pendapatan pemerintah RI masih bergantung pada harga komoditas primer.
Kedua, struktur ekonomi yang didominasi pengolahan sumber daya alam (SDA) dan sektor informal (UMKM).
Ketiga, rendahnya kemampuan teknologi informasi (IT) dan kapasitas pengetahuan staf di Dirjen Pajak membuat basis pajak dan tingkat kepatuhan pajak (tax complience) sangat sempit. Terakhir, kebijakan perpajakan yang tidak optimal.
Ralph menuturkan Indonesia saat ini tercatat menduduki peringkat 112 pada Indikator Pembayaran Pajak (Paying Taxes Indicator) World Bank's Doing Business Ranking 2019.
"Kompleksitas dan perlakukan tidak sama dari sistem pajak membuat efek negatif pada pertumbuhan inklusif di Indonesia," tutur Ralph.