Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menimbang Untung Rugi Burden Sharing bagi Bank Indonesia

Dengan adanya skema burden sharing menurutnya normalisasi defisit fiskal di bawah 3 persen PDB akan terjadi pada 2022, bahkan bisa lebih cepat.
Karyawan keluar dari pintu salah satu gedung Bank Indonesia di Jakarta, Senin, (20/1/2020).  Bisnis/Abdullah Azzam
Karyawan keluar dari pintu salah satu gedung Bank Indonesia di Jakarta, Senin, (20/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Melalui kesepakatan burden sharing Bank Indonesia dan pemerintah, bank sentral siap menanggung sebagian besar beban utang negara untuk pembiayaan penanganan Covid-19.

Burden sharing dilakukan sejalan dengan meningkatnya kebutuhan pembiayaan pemerintah sebesar Rp903 triliun, sebagai akibat dari defisit fiskal yang melebar dari 1,76 persen menjadi 6,34 persen dari PDB.

Skema burden sharing terbagi menjadi 2 komponen, yaitu pembiayaan untuk public goods dan nonpublic goods.

Untuk public goods berupa layanan kesehatan dan bantuan sosial, BI akan menanggung pembiayaan penuh sebesar Rp397,6 triliun. BI akan membayar pembayaran bunga 100 persen dari surat utang yang diterbitkan Pemerintah dengan kupon sebesar BI Reverse Repo Rate 3 bulan.

Untuk pembiayaan nonpublic goods untuk UMKM dan korporasi, BI akan menanggung setengah pembayaran bunga sebesar Rp176.83 triliun.

Kementerian Keuangan membayar pembayaran bunga 1 persen di bawah reverse repo rate dan sisanya dibayar oleh BI.

Dengan asumsi imbal hasil 10 tahun sekarang berada pada 7,35 persen, pemerintah akan membayar 3,65 persen, sementara itu, BI akan membayar 3,70 persen dengan suku bunga floating berdasarkan suku bunga sekunder di pasar.

Di samping itu, untuk pembiayaan nonpublic goods lainnya, Pemerintah akan menanggung pembiayaan Rp329.03 triliun seluruhnya.

Ekonom Bahana Macrosight Satria Sambijantoro mengatakan skema tersebut menyiratkan bahwa bank sentral akan memikul sekitar Rp35,9 triliun setiap tahun atau 54,8 persen dari total biaya suku bunga tahunan sebesar Rp66,5 triliun).

Biaya yang dikeluarkan BI tidak termasuk pengeluaran lain yang terkait dengan operasi moneter pasar terbuka. Dalam kesepakatan, obligasi yang diterbitkan berdasarkan skema pembagian beban dapat diperdagangkan di pasar sekunder dan digunakan oleh BI untuk operasi moneternya.

Menurut Satria, dengan BI yang memenuhi kebutuhan pembiayaan setidaknya Rp397,6 triliun atau setara dengan 2,43 persen dari PDB, kekhawatiran pasokan obligasi akan mereda, karenanya mendukung hasil dalam jangka pendek.

"Ini dapat meningkatkan prospek APBN dengan mengurangi beban utang dan pembayaran bunga, yang sangat penting jika pendapatan pajak dari sektor swasta pada tahun 2021 dan seterusnya belum pulih ke tingkat pra-Covid," katanya, Kamis (9/7/2020).

Selain itu, dengan adanya skema burden sharing menurutnya normalisasi defisit fiskal di bawah 3 persen PDB akan terjadi pada 2022, bahkan bisa lebih cepat.

Sementara itu, Satria mengatakan adanya kekhawatiran monetisasi utang dapat meningkatkan pasokan rupiah dan melemahkan mata uang.

Dia menilai dampak negatif ini akan terbatas karena burden sharing dilakukan pada waktu yang tepat, karena dolar Amerika Serikat (AS) berada di jalur bearish akibat dari quantitative easing The Fed yang agresif.

"Perkiraan akhir tahun kami sebesar Rupiah akan berada pada level Rp13.250 per dolar AS dan 6,20 persen untuk yield obligasi 10 tahun," jelasnya.

Meski demikian, skema burden sharing bukan berarti tidak berisiko bagi BI. Satria mengatakan skema monetisasi utang memiliki risiko menaikkan inflasi dan melemahkan kecukupan modal bank sentral.

Menurut perkiraan BI, program monetisasi uutang Rp397 triliun dapat menghasilkan 4,88 persen hingga 6,69 persen

Di samping itu, BI yang keuntungannya dari operasi moneter disalurkan ke anggaran negara melalui penerimaan bukan pajak (PNBP), juga diperkirakan akan melaporkan rugi setelah pajak Rp23,5 triliun pada tahun 2021 dari perkiraan laba Rp5,55 triliun pada tahun 2020 dan Rp33,35 triliun untung di 2019.

Pihaknya juga menyoroti bahwa skema monetisasi hutang menandakan adanya kompromi dalam independensi bank sentral. Hal ini menjadi perhatian investor asing dan lembaga pemeringkat, pada saat yang sama juga revisi UU Bank Indonesia 1991 akan dibahas.

"Kemungkinan tergerusnya neraca BI berarti kita seharusnya tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa BI mungkin memerlukan dukungan pendanaan negara dalam jangka menengah," jelasnya.

Dia menambahkan, beban tingkat bunga akan tertahan hingga setidaknya 2025. Saat itu, rasio kecukupan modal BI diperkirakan akan menjadi sebesar 3,98 persen, turun dari 11,1 persen pada 2019


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper