Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan kembali menurunkan tarif gas dari posisi saat di yakni US$6 per mmBTU.
Hal tersebut dilakukan karena tarif gas saat ini dinilai masih belum menyamakan lapangan main antara pabrikan lokal dan pabrikan di negeri jiran.
Seperti diketahui, penurunan tarif gas yang belum lama ini terealisasi disebabkan oleh peniadaan jatah pemerintah sekitar US$2,2 per mmBTU menjadi sekitar US$6 per mmBTU. Tetapi, tarif gas nasional masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga.
"Kami mendorong tarif gas diturunkan [lagi] supaya bisa lebih kompetitif. Kami berharap bisa turun lagi ke angka US$4 per mmBTU [khususnya bagi industri logam], karena industri logam adalah sektor yang menyerap energi paling banyak. Kalau dibandingkan dengan negara lain, playing field [industri baja lokal di pasar global] harus sama," ujar Direktur Jenderal Industri Logam Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin Taufiek Bawazier, Senin (14/9/2020).
Adapun, penurunan tarif gas dilaukan dengan cara menghilangkan jatah pemerintah dalam distribusi gas. Alhasil, PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN) melakukan perjanjian dagang ulang dengan industri hulu gas agar tarif gas yang dinikmati pabrikan dapat di kisaran US$6 per mmBTU.
Pada awal 2020, Kemenperin telah menyiapkan tiga skema dalam mendorong pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No. 40/2016, yakni dengan memotong atau meniadakan jatah pemerintah, membuat aturan kewajiban pasar lokal (DMO), dan membuka keran impor gas. Skema yang dipilih pada akhir kuartal I/2020 adalah peniadaan jatah pemerintah.
Baca Juga
Namun demikian, Kemenperin meramalkan penerbitan aturan DMO pada industri gas nasional dapat membuat tarif gas yang diterima pabrikan berada di kisaran US$4,5 per mmBTU. Adapun, skema yang ditawarkan adalah para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) memiliki kewajiban DMO.
Dengan demikian, PGN akan mendapatkan alokasi gas yang terjamin dan dapat menjual gas kepada industri lokal dengan harga spot. Kemenperin memprediksi harga spot tersebut akan berada di kisaran US$4,5 per mmBTU.
"Ya [penurunan tarif gas ke US$4 per mmBTU] akan kami usulkan lagi," tegas Taufiek.
Di samping itu, Kemenperin menyimulasikan daya saing industri baja masih negatif walau harga gas sudah diturunkan menjadi US$5 per MMBTU. Ismail menambahkan penurunan harga gas ke level US$6 per MMBTU sudah membuat daya saing baja lokal lebih tinggi dari baja impor.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum IISIA Ismail Mandry mengatakan penurunan tarif gas pada awal semester II/2020 dapat membantu pemulihan industri baja nasional. Namun demikian, lanjutnya, utilitas industri baja belum dapat kembali ke posisi pra-pandemi hingga akhir 2020.
Menurutnya, konsumsi gas oleh industri baja tidak akan meningkat pada tahun ini walaupun tarif gas sudah diturunkan. Pasalnya, lanjutnya, permintaan baja nasional merosot seiring tertundanya proyek konstruksi pemerintah maupun swasta pada awal pandemi Covid-19.
"Kalau [penurunan tarif gas] dilakukan saat kondisi normal, roda industri baja akan bergerak lebih cepat. Tapi, ini baru dilaksanakan 4 tahun kemudian [setelah penerbitan Perpres No/40/2016] dan diterapkan saat pandemi," katanya.
Ismail meramalkan utilitas mayoritas baru dapat menyentuh level 50 persen pada kuartal IV/2020 jika proyek-proyek konstruksi kembali berjalan. Adapun, utilitas industri baja berada di kisaran 30 persen per Juli 2020 atau turun dari posisi awal tahun di kisaran 70 persen.