Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah ketentuan dalam aturan turunan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja terkait dengan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi polemik.
Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (MenkopUKM) tidak berkomentar banyak terkait dengan hal tersebut ketika dihubungi Bisnis.
Sebagaimana diketahui, pelaku UMKM menilai ketentuan mengenai pesangon, investasi, serta perpajakan kontraproduktif bagi kemaslahatan usaha mikro dan kecil oleh pelaku UMKM.
Perihal pesangon misalnya, pelaku UMKM wajib membayar uang pesangon ditambah uang penghargaan masa kerja, serta uang penggantian hak bagi pekerja sebesar 50 persen dari besaran hak perusahaan-perusahaan non-UMKM dalam RPP tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, Serta Pemutusan Hubungan Kerja.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Bidang Pembiayaan Menteri Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (MenkopUKM) Hanung Harimba Rachman mengatakan UU Cipta Kerja No. 11/2020 seharusnya dilihat oleh pelaku UMKM dalam kondisi normal.
Menurut Hanung, dalam kondisi yang tidak normal harus ada kebijakan khusus pula yang memuat ketentuan-ketentuan sesuai dengan kondisi yang berlangsung.
Baca Juga
“Kalau mau melihat UU Cipta Kerja ini kan dalam kodisi normal seharusnya, ya. Dalam kacamata saya, kalau dalam kondisi tidak normal harus ada kebijakan yang tidak normal pula secara khusus,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (21/1/2021).
Adapun, untuk perihal investasi Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun menilai ketentuan penanaman modal oleh investasi asing yang terbuka untuk perusahaan UMKM dengan modal di atas Rp10 miliar dapat menghambat upaya UMKM untuk naik kelas.
Menurutnya, sektor-sektor usaha seperti restoran kecil, kedai minuman, hotel/penginapan kecil dan akomodasi harian lain seharusnya tidak dibuka terlalu lebar bagi usaha asing.
Terkait dengan hal tersebut, pelaku UMKM yang tergabung ke dalam Komisi Nasional Usaha Kecil dan Mikro mengusulkan agar besaran Rp10 miliar tersebut ditingkatkan paling tidak menjadi Rp25 miliar.
Sementara untuk urusan perpajakan, insentif di dalam RPP dengan batas atas besaran peredaran tahunan yang diturunkan menjadi Rp2 miliar untuk perusahaan yang dikenakan pajak final 0,5% dinilai tidak relevan dengan kondisi UMKM saat ini.
Ambang atas fasilitas insentif perpajakan tersebut diusulkan untuk ditingkatkan menjadi Rp7,5 miliar per tahun dengan mempertimbangkan tingkat inflasi suku bunga dan perkembangan ekonomi.
Sektor UMKM benar-benar mendapat pukulan telak pada 2020 akibat terdampak pandemi Covid-19. Segala lini kontribusi sektor tersebut mengalami penurunan yang tajam. Aturan turunan UU Cipta Kerja pun dinilai belum akomodatif oleh kalangan pelaku UMKM, meskipun di dalamnya terdapat sejumlah poin yang berdampak positif.
Berdasarkan data Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) yang diperoleh Bisnis, dari segi transaksi penurunan yang dialami oleh sektor UMKM nyaris mencapai 50 persen secara tahunan dengan nilai lebih dari Rp4,2 triliun.
Penurunan juga dialami dari segi kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 23 persen secara tahunan dari 60,3 persen menjadi 37,3 persen; jumlah UMKM sebesar 46 persen secara tahunan dari 63 juta menjadi 34 juta unit; serta jumlah tenaga kerja yang menurun 23 persen secara tahunan.
Lebih jauh, tahun lalu Akumindo juga mencatat terjadi penutupan usaha dari kurang lebih 50% dari total unit UMKM di tanah air, ditambah dengan 7 juta karyawan kehilangan pekerjaan, serta penurunan omzet penjualan yang mencapai 80-85 persen.
Secara sektoral, sektor pariwisata menjadi yang terdampak paling parah. Sebanyak 75 persen pelaku usaha di sektor tersebut terdampak oleh pandemi, disusul oleh sektor fesyen dan kecantikan sebanyak 60 persen, kerajinan tangan 85 persen, serta kuliner resto dan rumah makan sebesar 45 persen.