Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Otoritas Pajak Gencar Berburu di Ladang YouTuber dan Marketplace

Petugas pajak tengah berburu pajak dari kalangan Youtuber dan pelaku transaksi teknologi finansial. Di sisi lain, marketplace menjadi sasaran tembak otoritas pajak ditengah suramnya prospek penerimaan akibat ekonomi yang tenggelam ke lautan resesi sejak tahun lalu.
Ilustrasi marketplace/ Bisnis.com
Ilustrasi marketplace/ Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas pajak semakin liar dalam berburu pajak. Tidak Setelah menyasar konsumen di dunia nyata melalui penerapan skema multitarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Direktorat Jenderal Pajak mulai fokus di dunia maya.

Kini, para petugas pajak tengah berburu pajak dari kalangan Youtuber dan pelaku transaksi teknologi finansial.

Di sisi lain, marketplace menjadi sasaran tembak otoritas pajak ditengah suramnya prospek penerimaan akibat ekonomi yang tenggelam ke lautan resesi sejak tahun lalu. Terlebih, potensi penerimaan yang bisa digali dari marketplace cukup besar.

Dikutip dari data Ditjen Pajak yang diperoleh Bisnis, potensi penerimaan pajak dari transaksi online marketplace pada tahun ini mencapai Rp3,63 triliun untuk PPN dan Rp0,91 triliun untuk Pajak Penghasilan (PPh).

Angka estimasi itu diperoleh berdasarkan data Faktur Pajak atas komisi yang diterima oleh platform marketplace dalam masa pajak Januari—Desember 2019.

Estimasi dan rencana pungutan ini tertuang di dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

“Potensi penerimaan pajak tersebut berasal dari kegiatan yang pada dasarnya melibatkan pihak lain yang memegang kendali atas arus transaksi berupa arus uang dan arus barang,” tulis Naskah Akademik RUU KUP yang dikutip Bisnis, Selasa (13/7/2021).

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menggali potensi itu adalah melalui penunjukan pihak lain sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak.

Pihak lain yang dimaksud adalah penyedia atau transaksi atau marketplace. Nantinya, marketplace ditugaskan memungut pajak kepada pelaku tekfin dan Youtuber, baik dari sisi PPh maupun PPN.

Agresivitas pemerintah dalam berburu pajak di dunia maya didasari pada perkembangan ekonomi digital yang cukup pesat.

Dari sisi tekfin, pemerintah mencatat bahwa produk yang sangat pesat perkembangannya di Indonesia adalah fintech lending. Platform ini mempertemukan langsung pemberi dan penerima pinjaman yang sebagian besar merupakan individu masyarakat.

Perkembangan serupa juga terjadi pada media sosial, yang memengaruhi pergeseran kebiasaan masyarakat dalam mengakses informasi dan hiburan.

Berdasarkan data Hootsuite yang diolah Ditjen Pajak, pertumbuhan alokasi pelaku usaha untuk biaya promosi sepanjang 2020 (year-on-year) naik signifikan. Pengeluaran untuk iklan di media sosial tumbuh sebesar 14,4 persen, dan iklan melalui in-stream video tumbuh 8,6 persen.

Kondisi ini mendorong berkembangnya model bisnis lintas batas (cross-border transaction).

Dengan keunggulan ini, korporasi media daring luar negeri dapat beroperasi dan mendapatkan traffic dari Indonesia tanpa perlu kehadiran secara fisik.

Namun demikian, adanya penghasilan yang diterima atau diperoleh media daring luar negeri berpotensi tidak dapat dipajaki.

Pasalnya, ketentuan PPh di Indonesia masih menggunakan basis pemajakan (nexus) kehadiran fisik untuk dapat memajaki penghasilan yang bersumber dari Indonesia.

“Penunjukan korporasi media daring luar negeri sebagai pemotong dan/atau pemungut PPh merupakan langkah yang perlu diambil untuk menciptakan level playing field yang sama antara media konvensional dan media daring, serta sebagai upaya untuk memperbesar basis PPh,” jelas pemerintah.

Sementara itu, akses pemerintah untuk memungut pajak atas transaksi digital masih cukup terbatas, di mana realisasi penerimaan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektonik (PMSE) pada semester I/2021 hanya Rp1,64 triliun.

Ditjen Pajak pun terus menambah penyedia PMSE yang bertugas sebagai wajib pungut untuk membantu pemerintah meningkatkan penerimaan dari transaksi digital.

Terbaru, pemerintah menunjuk PT Fashion Marketplace Indonesia (Zalora) dan Pipedrive OU sebagai wajib pungut PPN atas produk digital luar negeri yang dijual kepada masyarakat di Indonesia.

“Dengan penambahan dua perusahaan, maka jumlah pemungut PPN PMSE yang telah ditunjuk pemerinta menjadi 75 badan usaha,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menilai perburuan pajak di dunia maya dirumuskan dengan tujuan meningkatkan penerimaan di tengah suramnya prospek ekonomi dalam negeri. Artinya, pemerintah berusaha untuk memaksimalkan pungutan dari transaksi internasional.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Tegar Arief
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper