Bisnis.com, JAKARTA - Rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan terus bergulir.
Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI Atong Soekirman menilai PP No.109/2012 masih relevan sehingga tidak perlu direvisi. Terlebih, mengingat besarnya dampak negatif Covid-19 pada kesehatan dan perekonomian nasional, revisi tersebut dianggap tidak mendesak.
“Berdasarkan arahan dari Pak Menko, memang intinya PP No.109/2012 itu masih relevan dan komplit, hanya saja bagaimana implementasinya menjadi krusial. Jadi pimpinan menyampaikan bahwa belum ada tuntutan urgen untuk merevisi PP No.109/2012 saat ini,” ujarnya dalam siaran resmi yang dikutip Bisnis, Kamis (29/7/2021).
Di sisi lain, Atong menyebut Kemenko Perekonomian juga mempertimbangkan sektor industri yang tertekan, khususnya di tengah pandemi Covid-19 yang belum teratasi dan pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
“Kami selesaikan dulu pandemi dan pemulihan ekonomi nasional. Khususnya industri tembakau kami berharap tidak berdampak terlalu dalam untuk industri sehingga produksi tembakau dan harganya bisa terjaga,” tuturnya.
Atong lalu menegaskan pihaknya melihat tidak ada urgensi dari revisi PP No.109/2012 karena pada dasarnya peraturan tersebut masih ideal untuk mengatasi masalah kesehatan.
Baca Juga
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang berbasis pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, pemerintah melihat adanya penurunan angka prevalensi merokok pada anak usia 10-18 tahun. Di 2018, prevalensi merokok anak usia 10-18 tahun sebesar 9,65 persen menurun menjadi 3,87 pada 2019 dan 3,81 persen di 2020.
“Kemenko perekonomian tetap berkomitmen untuk isu kesehatan ini. concern kita adalah pembatasan konsumsi dan turunnya prevalensi rokok terhadap anak. Untuk hal ini semua sudah diatur kementerian dan lembaga, melalui cukai tembakau dan PP No.109/2012 cukup relevan untuk mengatur ini,” jelasnya.
Adapun, wacana revisi PP tersebut memicu pro dan kontra dari berbagai pihak. Poin revisi yang diusulkan dalam rancangan revisi adalah tentang perbesaran gambar peringatan kesehatan yang saat ini sudah 40 persen pada kemasan rokok agar menjadi 90 persen. Revisi juga mengusulkan agar melarang adanya bahan tambahan pada produk rokok.
Sementara itu, sejumlah pihak turut menilai dorongan revisi PP No.109/2012 juga dipicu oleh kepentingan pihak-pihak tertentu tanpa memikirkan situasi dan kondisi industri dan petani di Indonesia.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian RI Edy Sutopo mengatakan bahwa memang ada pihak-pihak tertentu yang ingin meningkatkan di satu sisi kepentingan yakni kesehatan.
Edy mengatakan, revisi PP 109/2012 saat ini tidak tepat dilakukan mengingat momentum yang tidak tepat di tengah krisis akibat pandemic Covid-19.
“Penurunan produksi berdampak terhadap bahan baku, harga, dan sebagainya. Usaha pemerintah untuk survival jangan diganggu oleh pembicaraan (revisi) ini. PP 109/2012 ini sudah cukup,” tegasnya.