Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Waspada Shutdown dan Gagal Bayar AS, Ini Dampaknya ke Ekonomi RI

Jika skenario gagal bayar dan penutupan pemerintahan AS terjadi, maka hal ini akan berdampak pada kinerja ekspor RI.
Suasana Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (12/1/2021). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Suasana Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (12/1/2021). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Amerika Serikat (AS) dikhawatirkan akan mengalami penutupan (shutdown) akibat dari potensi gagal bayar utang atau default.

AS disebutkan akan kehabisan uang tunai pada 18 Oktober 2021. Setelah 18 Oktober, negara itu diyakini tidak akan mampu membayar kewajibannya.

Namun demikian, gagal bayar dapat dihindari jika Kongres menyetujui untuk menaikkan batas utang federal secara tepat waktu. Ekonom memperkirakan, gagal bayar pemerintah AS akan menyebabkan bencana keuangan hingga menurunkan pertumbuhan ekonomi negara itu.

Bagaimana dampaknya terhadap perekonomian domestik?

Direktur Center of Law and Economic Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyampaikan jika skenario gagal bayar dan penutupan pemerintahan AS terjadi, maka hal ini akan berdampak pada kinerja ekspor.

Pasalnya, pemerintahan AS pasti akan mengurangi belanja publik, misalnya untuk layanan kesehatan, pensiun, serta pembayaran dan tunjangan pegawai negeri di AS.

Dampak dari hal ini tentunya akan melemahkan daya beli atau konsumsi rumah tangga di AS, sehingga akan melemahkan permintaan barang impor dari negara lain, termasuk Indonesia.

“Sehingga surplus perdagangan sampai Agustus yang masih cukup besar akan menyusut atau menurun karena ada gangguan dalam pasar,” katanya kepada Bisnis, Senin (4/10/2021).

Di samping itu, Bhima menyampaikan dampak dari kenaikan ancaman gagal bayar pemerintahan AS akan terasa di pasar keuangan, terutama akan memicu kenaikan suku bunga.

Credit rating di beberapa perusahaan ataupun surat utang yang di AS akan mengalami penyesuaian, sehingga ini akan memaksa percepatan kenaikan suku bunga acuan,” jelasnya.

Jika suku bunga the Fed meningkat, maka negara berkembang juga harus merespon dengan menaikkan suku bunga acuan. Kondisi ini akan memicu bunga atau pinjaman yang lebih mahal pada 2022.

“Ini akan menjadi hambatan bagi pemulihan ekonomi karena saat ini pelaku usaha membutuhkan pinjaman yang bunganya rendah dan ekspansi dari kredit perbankan,” tuturnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper