Bisnis.com, JAKARTA — Samuel Sekuritas memproyeksikan surplus neraca transaksi berjalan di kisaran 0,5 persen–1 persen terhadap PDB pada akhir 2021. Hal tersebut membuat Indonesia berpotensi mencatatkan surplus neraca berjalan pertama dalam satu dekade terakhir.
Macro Strategist and Equity PT Samuel Sekuritas Indonesia Lionel Priyadi menjelaskan bahwa potensi surplus setahun penuh (full year) tercermin dari capaian kuartal III/2021 yakni surplus US$4,5 miliar. Catatan itu mencakup 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Menurut Lionel, surplus itu ditopang oleh kenaikan harga-harga komoditas global, seperti batu bara dan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO). Komoditas itu mendorong surplus neraca perdagangan barang kuartal III/2021 menjadi US$15,02 miliar, naik dari kuartal sebelumnya US$8,3 miliar.
Kinerja neraca perdagangan barang itu melebihi konsensus US$3,2 miliar. Bahkan, menurut Lionel, kinerja secara keseluruhan melebihi prediksi ekonom Samuel Sekuritas yakni defisit neraca berjalan senilai US$4 miliar.
Di luar dugaan, defisit neraca pembayaran primer hanya meningkat 12,7 persen secara tahunan (year-on-year/YoY) atau 3,5 persen secara kuartalan (quarter to quarter/QtQ) menjadi US$6,08 miliar. Lalu, surplus neraca finansial pada kuartal III/2021 naik menjadi US$6,1 miliar, sehingga membuat Samuel Sekuritas meyakini akan terjadi surplus neraca berjalan.
"Menurut prediksi ekonom kami, posisi neraca berjalan Indonesia akan berbalik dari defisit 0,42 persen pada 2020 menjadi surplus 1 persen dari PDB 2021, yang merefleksikan rekor neraca perdagangan Oktober 2021," tulis Lionel dalam riset strategi makro, Senin (22/11/2021).
Baca Juga
Meskipun begitu, Samuel Sekuritas menilai bahwa terdapat potensi downside surplus neraca berjalan ke posisi 0,5 persen terhadap PDB. Hal tersebut karena adanya penurunan harga batu bara pada November 2021, setelah sempat terjadi rally kenaikan harga.
Proyeksi 0,5 persen jika terjadi downside, maupun 1 persen jika kondisi baik akan membuat Indonesia mengalami surplus neraca berjalan dalam satu dekade terakhir. Indonesia terakhir kali mencatatkan surplus pada 2011, yakni 0,19 persen terhadap PDB.
Setelah itu, defisit terus terjadi sejak 2012 hingga 2020 lalu, dengan posisi defisit terdalam pada 2013 yakni 3,16 persen terhadap PDB. Tren defisit terus menurun hingga 2017, tetapi kembali meningkat pada 2018, kemudian berangsur turun hingga defisit neraca berjalan pada 2020 di angka 0,42 persen.
"Kemungkinan tercapainya surplus neraca berjalan pada 2022 akan menghasilkan sentimen positif bagi bursa saham maupun pasar obligasi," tulis Lionel.