Bisnis.com, JAKARTA —Direktur Utama PT Prodia Widyahusada TBK Dewi Muliaty mengungkapkan persoalan logistik dan rantai pasok masih menjadi isu utama yang bakal mengiringi kinerja industri kesehatan di tahun depan. Persoalan itu tetap berlanjut lantaran pasokan dalam negeri masih tergantung dari impor.
“Memang tantangannya adalah logistik karena sebagian besar harus dikirim dari logistik pusat di Jakarta, termasuk reagen-reagen diagnostik yang masih banyak impor,” kata Dewi dalam diskusi Indonesia Health Care Outlook 2022 secara daring, Rabu (8/12/2021).
Di sisi lain, Dewi menambahkan, jadwal penerbangan sebagian besar dihentikan selama pandemi Covid-19. Konsekuensinya, impor barang dari luar negeri dan distribusinya di pasar domestik terhambat.
Kendati demikian, dia mengatakan, persoalan rantai pasok dan logistik itu relatif sudah dapat diatasi oleh Prodia. Hanya saja, distribusi barang ke luar Pulau Jawa masih sulit untuk dilakukan karena biaya yang lebih mahal.
“Sekarang sudah boleh dikatakan normal ya, ini sudah biasa kembali ke sistem kami. Akan tetapi, distribusi logistik yang panjang membuat harga pasokan di area yang jauh jadi mahal,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Emiten laboratorium itu akan memfokuskan ekspansi bisnisnya pada pengembangan layanan digital ketimbang pembukaan kantor cabang baru. Perseroan pun optimistis dengan strategi itu dapat melanjutkan tren pertumbuhan tahun ini.
Baca Juga
Emiten berkode saham PRDA ini menganggarkan belanja modal atau capital expenditure (capex) senilai Rp200 miliar tahun depan untuk pengembangan layanan digital tersebut. Nilai tersebut relatif sama dengan yang dianggarkan untuk tahun ini.
"Tahun ini sekitar Rp200 miliar, tahun depan juga sama. Dalam 2 tahun ini tak buka outlet fisik terlalu besar, paling satu hingga dua pembangunan baru. Fokusnya, omni channel digital service. Jadi, bisa sekaligus membangun ekosistem digital," urai Dewi dalam paparan publik, Selasa (16/11).
Dia bercerita realisasi belanja modal hingga 9 bulan 2021 baru terserap 40 persen atau berkisar Rp80 miliar dengan fokus pembangunan teknologi informasi (TI) perusahaan. Realisasi yang lebih rendah tersebut karena pengeluaran untuk belanja modal yang disesuaikan bergeser ke belanja operasional.
PRDA biasa membuka cabang baru dan menyerap belanja modal cukup besar. Namun, perseroan kali ini menggeser fokusnya dengan membangun digitalisasi pelayanan laboratorium yang dikombinasikan dengan layanan datang ke rumah atau home service.