Bisnis.com, JAKARTA — Pendiri dan CEO Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai adanya isyarat keterbatasan likuiditas dana pemerintah dari ketentuan baru terkait pencairan dana jaminan hari tua atau JHT. Hal tersebut karena besarnya jumlah dana JHT yang diinvestasikan di surat utang negara.
Achmad menilai bahwa wajar jika terjadi banyak penolakan terhadap ketentuan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT.
Ketika terjadi banyak PHK di tengah pandemi Covid-19, banyak orang yang menggunakan dana JHT untuk menyambung hidup.
Dia yang juga pengajar Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta menilai bahwa munculnya kebijakan terkait JHT di tengah pandemi mengisyaratkan adanya keterbatasan likuiditas pemerintah.
Hal tersebut karena pencairan JHT berpotensi membuat dana yang berada di berbagai instrumen investasi akan kembali kepada pekerja.
"Permenaker [2/2022] tersebut seolah sudah tepat dan ideal untuk pekerja padahal bisa jadi Permenaker tersebut merencana menahan dana sekitar Rp387,45 triliun milik pekerja untuk mengatasi keterbatasan likuid pemerintah atau akan diinvestasikan lain untuk proyek-proyek infrastruktur," ujar Achmad pada Selasa (15/2/2022).
Baca Juga
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan tidak secara langsung menginvestasikan dana pekerja di berbagai proyek infrastruktur. Dana pekerja yang mencapai Rp553,5 triliun per 2021 diinvestasikan di berbagai instrumen, seperti 63 persen di surat utang, 19 persen di deposito, 11 persen di saham, 6,5 persen di reksa dana, dan 0,5 persen sisanya investasi langsung.
BPJS Ketenagakerjaan turut menyerap surat utang negara dalam investasinya. Dana itu yang kemudian digunakan oleh pemerintah dalam berbagai keperluan, di antaranya pembangunan infrastruktur dan berbagai agenda lain.
"Bila dana investasi JHT, sekitar 70 persen atau Rp387,45 triliun dapat dikelola sampai pekerja berusia 56 tahun maka pemerintah memiliki dana likuid yang cukup besar untuk dimanfaatkan.Persoalannya adalah dana tersebut adalah milik pekerja yang mereka juga sedang membutuhkannya di saat kehilangan pekerjaan dan di saat pandemi belum mereda," ujar Achmad.
Dia berpandangan bahwa JHT merupakan dana para pekerja atas kerja kerasnya, maka negara semestinya bersifat netral dalam konteks kebijakan terkait JHT.