Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance atau Indef menilai bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM jenis pertamax menimbulkan polemik karena kecenderungan pemerintah yang memberikan subsidi terhadap barang. Seharusnya, subsidi pemerintah menyasar masyarakat, terutama kalangan miskin dan rentan.
Direktur Riset Indef Berly Martawardaya menilai bahwa menilai bahwa sejauh ini konsumsi BBM bersubsidi terjadi di seluruh kalangan, bukan hanya masyarakat miskin dan rentan. Akibatnya, banyak subsidi yang diterima masyarakat tidak miskin sehingga tidak adil dan tidak efektif bagi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Pertamax memang merupakan bahan bakar non subsidi, sehingga konsumennya lebih banyak masyarakat menengah ke atas. Namun, kenaikan harga Pertamax menjadi Rp16.000 membuat selisihnya kian lebar, bahkan mencapai di atas dua kali lipat dari pertalite dengan asumsi harga Rp7.650.
Indef menilai bahwa pemerintah harus menghindari subsidi barang, apalagi jika masih terdapat kemungkinan orang kaya mengonsumsi barang tersebut. Selain meningkatkan beban kompensasi subsidi, hal itu pun tidak adil.
"Subsidi barang kurangi, subsidi atau bantuan ke orang naikkan. Subsidilah orang miskin dan rentan dengan bantuan langsung dan perlindungan sosial yang menjadi buffer ekonomi," ujar Berly kepada Bisnis, Rabu (30/3/2022).
Peningkatan subsidi kepada masyarakat itu memiliki syarat mutlak, yakni perlu adanya pemutakhiran (update) data secara rutin agar penyalurannya lebih tepat sasaran. Indonesia masih perlu belajar banyak, karena berkaca dari penyaluran bantuan sosial lain dan pencatatan peserta penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan masih terdapat banyak kendala.
Baca Juga
Adapun, Berly menilai bahwa pemerintah memiliki kewajiban kompensasi subsidi BBM yang lebih tinggi akibat terus naiknya harga minyak secara global. Pasca invasi Rusia ke Ukraina, harga minyak global menembus US$100, padahal asumsi APBN 2022 harga minyak hanya US$63.
Meskipun selisih itu akan diganti pemerintah, menurut Berly, terdapat jeda waktu yang cukup lama untuk pencairannya. Hal tersebut dapat mengganggu arus kas (cash flow) Pertamina, yang jika terus berlanjut dapat menganggu operasional.
"Bu Menteri Keuangan pada 25 maret 2022 kemarin menyatakan bahwa pemerintah memiliki kewajiban bayar kompensasi selisih BBM tahun 2021 sebesar Rp93,1 triliun. Padahal, APBN 2022 memiliki prioritas belanja seperti penanganan pandemi, pemulihan ekonomi, serta perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan," ujarnya.