Bisnis.com, JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) melihat sisi lain pariwisata yang sulit bangkit karena masyarakat belum stabil dari daya beli dan kondisi keuangannya.
Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus menyampaikan meskipun sudah banyak sekali kelonggaran kebijakan mobilisasi, saat ini masyarakat masih mengutamakan kebutuhan pokok.
Pelonggaran kebijakan yang diiringi dengan kenaikan harga kebutuhan sehari-hari seperti minyak goreng, BBM, cabai, serta PPN membuat masyarakat mengalokasikan lebih banyak dana hal tersebut. Demikian, alokasi dana untuk kebutuhan tersier seperti berwisata tentunya akan semakin sedikit.
“Saat ini banyak kelonggaran tapi dari daya beli masyarakat ini mengutamakan kebutuhan pokok, pariwisata yang tersier ini belakangan urusannya,” ujar Heri, Rabu (13/4/2022).
Heri melihat pemerintah punya tanggung jawab besar dalam menjaga daya beli masyarakat sehingga masyarakat mudah menjangkau kebutuhan utamanya. Setelah memenuhi kebutuhan utama, masyarakat dapat menabung untuk kebutuhan tersier.
Sulit bagi pariwisata untuk bangkit. Menurut Heri pelaku pariwisata tidak dapat berjalan sendiri, butuh sokongan dari pemerintah dengan berbagai program dan stimulus.
Baca Juga
Saat ini, pelaku pariwisata masih mendapatkan keringanan dari relaksasi restrukturisasi kredit perbankan dari OJK hingga akhir Maret 2023. Sebelumnya, pada 2020 dan 2021 pariwisata juga mendapatkan hibah yang masing-masing nilainya Rp3,3 triliun dan Rp3,7 triliun.
Berakhirnya relaksasi tersebut dikhawatirkan pelaku pariwisata khususnya hotel dan restoran belum stabil dari sisi cash flow sehingga tanggungannya akan semakin berat.
Sementara itu, menurut pelaku pariwisata dari segmen UMKM merasa anggotanya harus dapat memanfaatkan berbagai stimulus yang diberikan pemerintah untuk dapat bertahan. Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi UMKM untuk tidak survive.
“Pelaku usaha harus bisa bangkit, harus survive dengan segala stimulus yang diberikan pemerintah. Ada relaksasi, kemudahan bantuan KUR, itu bantuan sudah luar biasa. Nggak ada alasan, hanya bagaimana pemerintah mendorong untuk belanja pemerintah yang tinggi. Manfaatkan!,” tegas Edy, Rabu (13/4/2022).
Edy mendorong pelaku usaha untuk dapat force saving atau tabung paksa sehingga ketika berbagai relaksasi dan stimulus sudah tidak ada, mereka memiliki cuku dana untuk bertahan.
Berbeda dengan Akumindo, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran meminta pemerintah untuk dapat memperpanjang kebijakan relaksasi tersebut. Setidaknya, menurut dia, hotel dan restoran masih butuh waktu dua tahun dari 2023 untuk dapat berjalan tanpa diberi bantuan.
“Kami masih butuh bantuan. Paling tidak diberikan lagi relaksasi hingga 2025, sehingga mereka [hotel dan restoran] ada saving untuk siap dilepas relaksasinya,” ungkap Maulana, Rabu (13/4/2022).
Heri pun setuju dengan Maulana yang mana masih perlu ada stimulus lain yang harus diperoleh pelaku pariwisata. Namun, bukan hanya bantuan fiskal, juga non-fiskal dengan menggencarkan unique selling untuk memancing minat wisata.
“Insentif fiskal itu terbatas, upaya non-fiskal lainnya bisa di-create masing-masing daerah sehingga daya beli masyarakat harus pulih,” lanjut Heri.
Namun kembali lagi, Heri mengatakan wisata bukan kebutuhan utama yang mana masyarakat harus memenuhi urusan perut terlebih dahulu. Harga minyak goreng curah yang menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) per 13 April 2022 ini tembus Rp20.100 per liter pun membuat masyarakat berpikir ulang dalam menyisihkan uangnya untuk berwisata.