Bisnis.com, JAKARTA- Tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang belum berakhir sepanjang 2022 dinilai menjadi beban tambahan bagi pelaku industri makanan dan minuman (mamin) di Tanah Air.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bima Yudhistira, rangkap pikulan yang ditanggung industri tersebut terjadi karena sebelumnya harga bahan baku sudah mengalami kenaikan.
"Sebelum rupiah melemah, harga beberapa bahan baku industri mamin sudah mengalami kenaikan seperti gandum, gula, dan minyak nabati. Ditambah pelemahan kurs, tentu bebannya jadi ganda," kata Bhima kepada Bisnis, Senin (17/7/2022).
Terkait dengan hal itu, lanjutnya, pelaku industri mamin pun menunggu momen yang tepat untuk menaikkan harga ritel. Namun, tidak semua kelompok masyarakat siap meski kenaikan harga diperkirakan hanya berkisar 5 - 7 persen.
Dia mencontohkan, masyarakat kelompok menengah bawah akan bergeser ke produk lain dengan harga lebih murah ataupun mengurangi belanja mamin apabila terjadi kenaikan harga. Risikonya, omzet penjualan di industri mamin bisa anjlok.
Tingkat resiliensi industri mamin pun mau tidak mau ditantang oleh tren pelemahan nilai tukar rupiah yang belum menunjukkan tanda-tanda adanya titik cerah.
Baca Juga
Sepanjang tahun 2022 berjalan, rupiah sudah melemah 4,8 persen. Pada akhir pekan lalu, mata uang garuda parkir di level Rp14.979 per dolar Amerika Serikat.
Apabila tren tersebut terus berlangsung, maka perusahaan di industri tersebut bakal terbebani biaya impor bahan baku yang tinggi.Padahal, industri tersebut di Tanah Air masih bergantung terhadap impor bahan baku yang tidak sedikit.
PT Mayora Indah Tbk. misalnya, dengan bahan baku yang berasal dari dalam negeri hanya 40 persen. Kondisi ini, tentunya menjadi masalah bagi industri yang masih berupaya pulih secara penuh dari pandemi.