Bisnis.com, JAKARTA – Bank sentral negara-negara Asean menghadapi tantangan besar dari sikap agresif bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve. Hal ini terkait dengan sikap bank sentral yang cenderung mempertahankan sikap akomodatifnya.
Lead Economist Oxford Economics Sian Fenner mengatakan beberapa bank sentral di Asia Tenggara perlu mengambil langkah pengetatan kebijakan moneter mendukung mata uang mereka dan membatasi tekanan harga impor dan inflasi.
The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga lebih lanjut hingga 3,65 persen pada akhir 2022.
“Perbedaan suku bunga yang melebar dengan The Fed akan membebani mata uang di Asean, sehingga memicu inflasi terutama di negara-negara yang menjadi net importer komoditas pangan dan energi bersih,” tulis Sian dalam risetnya, dikutip Rabu (20/7/2022).
Dia melanjutkan, hingga saat ini bank sentral di Asean sebagian besar memilih untuk memprioritaskan pertumbuhan dengan hanya menaikkan suku bunga secara moderat, atau bahkan mempertahankan suku bunga.
“Yang paling dovish adalah Bank of Thailand yang mempertahankan suku bunga pada 0,5 persen. Dan dengan lonjakan inflasi, suku bunga riil di Thailand telah turun tajam hingga menjadi yang terendah di Asean, dan bahkan Asia,” ungkap Sian.
Hal ini berbanding terbalik dengan aikap agresif The Fed yang terakhir kali mengerek suku bunga Fed Fund Rate menjadi 1,75 persen, dan akan menaikkan suku bunga lagi hingga inflasi AS yang melonjak ke level tertinggi dalam 40 tahun terakhir dapat terkendali.
Seperti diketahui, inflasi di Thailand melonjak ke level tertinggi dalam hampir 14 tahun terakhir menjadi 7,66 persen. Dengan demikian, suku bunga riil Negeri Gajah Putih tersebut berada di level minus 7,16 persen.
“Berdasarkan prakiraan inflasi kami, suku bunga riil masih sangat negatif di Filipina, bahkan setelah BSP [bank sentral Filipina] menaikkan suku bunga 75 basis poin. Indonesia dan Malaysia memiliki suku bunga riil negatif yang lebih sedikit tetapi tekanan inflasi meningkat di keduanya,” lanjut Sian.
Di antara negara-negara Asean, Filipina menjadi yang paling rentan terhadap pelemahan mata uang karena merupakan importir makanan dan energi terbesar. Kedua komoditas ini ini menyumbang sekitar 44 persen dari belanja konsumen.
“Suku bunga yang lebih tinggi juga diperlukan untuk membatasi arus keluar modal,” pungkasnya.