Bisnis.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI dari fraksi PKS Anis Byarwati menegaskan kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi bisa membuat inflasi melonjak hingga 8 persen.
Menurutnya, kebijakan pemerintah menarik subsidi BBM merupakan langkah yang kontraproduktif. Pasalnya, dia menilai kebijakan tersebut dinilai di saat momentum yang sangat tidak tepat karena terjadi di saat kondisi ketidakpastiaan geopolitik.
“Ketika perekonomian sedang bergerak pada pemulihan, bukan distimulasi tapi malah dihambat, kebijakan yang kontraproduktif. Padahal masyarakat butuh waktu untuk kembali menyesuaikan dengan kondisi ekonomi yang tidak stabil seperti saat ini,” ujar Anis seperti dikutip dalam keterangan resmi, Kamis (8/9/2022).
Politisi PKS tersebut menilai kenaikan harga BBM bukan sekadar menaikkan biaya transportasi kendaraan pribadi saja, tapi terhadap hampir semua sektor ekonomi. Utamanya, kata dia, sektor yang berhubungan dengan masyarakat secara umum.
Dia menilai kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi akan semakin mendekatkan perekonomian nasional pada kondisi horor yang sangat mengkhawatirkan serta efek berantai pada perekonomian.
"Tekanan inflasi akan tinggi. Naiknya harga BBM akan mempengaruhi harga bahan baku di tingkat produsen meningkat, sehingga harga jual ke konsumen akan ikut naik. Angka inflasi akan mencapai 7 hingga 8 persen hingga akhir 2022," ujarnya.
Menurutnya, kondisi ini memicu kenaikan suku bunga acuan secara agresif serta membuat biaya ekspansi rumah tangga dan dunia usaha menjadi lebih mahal.
Baca Juga
Anis mengatakan tingginya inflasi dan tingkat suku bunga, sudah pasti menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan melambat seiring dengan tingginya biaya ekspansi usaha dan beban hidup masyarakat.
"Dampaknya, pertumbuhan ekonomi tahun 2022 akan kembali melambat. Juga akan menambah angka kemiskinan dan pengangguran," tuturnya.
Anis menyatakan, kebijakan tarik subsidi Solar dan Pertalite, dipastikan akan meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran. Dia menilai kebijakan pemerintah mengeluarkan bansos senilai Rp24,17 triliun, dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT), bantuan subsidi upah (BSU) dan mengalokasikan 2 persen dana transfer umum pemerintah daerah untuk sektor transportasi umum, ojek, dan nelayan, tidak terlalu banyak membantu.
"Alokasi besaran Bansos tidak sebanding dengan tekanan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat akibat dampak Covid-19 dan angka inflasi yang sudah tinggi sebelumnya," imbuhnya.