Bisnis.com, JAKARTA— Penerimaan negara dari sektor cukai akan makin optimal apabila ada terobosan dalam kebijakan struktur tarif cukai hasil tembakau.
Apalagi, seperti yang tertuang dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara (RAPBN) 2023 dan Nota Keuangan pada 2023, pemerintah menargetkan penerimaan dari sektor cukai sebesar Rp245,45 triliun, naik hampir 12 persen dari target dalam Perpres No.98/2022.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (FEB UI) Faisal Basri mengatakan skenario terbaik untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor cukai hasil tembakau adalah dengan penyesuaian tarif cukai disertai dengan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau.
“Dengan skenario tersebut ada sekitar Rp100 triliun tambahan penerimaan negara untuk pemerintah. Uang yang banyak ini dapat dipakai untuk akselerasi kesehatan dan pendidikan karena selama pandemi, kita banyak learning loss,” ujarnya dalam diskusi virtual, Rabu (14/9/2022).
Faisal menyoroti tren pertumbuhan rokok murah yang marak terjadi saat ini, dimana rokok – rokok tersebut menjamur dan semakin banyak dikonsumsi. Menurutnya situasi ini tidak efektif bagi upaya pengendalian dan penyelamatan generasi emas Indonesia.
Sementara itu, akademisi hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril mengatakan bahwa menyederhanakan struktur tarif cukai dengan membedakan antara rokok mesin dan rokok linting tangan akan mengoptimalkan penerimaan negara sampai Rp108,7 triliun. Penerimaan dari cukai hasil tembakau ini dinilai akan memperkuat keuangan negara dalam menahan dampak inflasi, sekaligus juga mencapai target pengendalian konsumsi tembakau.
Baca Juga
Dia menilai penerimaan negara dari sektor cukai tidak akan optimal apabila struktur tarif cukainya masih memiliki celah penghindaran pembayaran cukai. “Lebarnya selisih tarif cukai rokok antara golongan I yang paling tinggi dengan golongan II yang lebih murah adalah salah satu celah dapat dimanfaatkan perusahaan untuk penghindaran cukai,” katanya.
Oce mengatakan gap tarif yang lebar antara golongan I dan II ini memicu perusahaan cenderung memilih masuk dalam golongan II.
“Meskipun sebenarnya secara kemampuan produksi, mereka masuk dalam kategori golongan I. Pengusaha yang masuk dalam golongan II tersebut tentu akan membayar tarif cukai yang jauh lebih murah,” kata Oce.
Oce mengatakan langkah untuk menyederhanakan struktur tarif serta memperkecil gap tarif antar golongannya dapat mencegah munculnya potensi kecurangan dalam kebijakan cukai hasil tembakau yang pada akhirnya akan mengoptimalkan penerimaan negara.
“Hal tersebut tentu saja akan berimplikasi pada aspek penerimaan negara yang tidak optimal. Gap yang terlalu lebar ini perlu dipertimbangkan dalam penyusunan struktur tarif cukai sehingga hal-hal yang menghambat optimalisasi penerimaan negara dapat dihindari,” katanya.