Bisnis.com, JAKARTA - Awan gelap perekonomian global telah digantung oleh berbagai institusi ekonomi global di awal 2023. Kekhawatiran resesi, tingkat suku bunga kebijakan bank sentral yang berada di tingkat tinggi serta pemulihan sektor manufaktur yang lebih lambat dari perkiraan menjadi hal yang mesti ditembus. Akibatnya, volatilitas tersebut menjadi hal yang dikhawatirkan turut menggelantung di langit perekonomian dan pasar keuangan Indonesia.
Namun, pemulihan ekonomi Indonesia yang didorong oleh trade surplus mencapai US$50,68 miliar hingga November 2022 diharapkan berlanjut pada tahun ini. Hal itu seiring dengan risiko defisit neraca pembayaran yang berkurang menjadi hanya US$1,3 miliar pada kuartal III/2022, begitu juga dengan posisi pinjaman luar negeri yang turun US$20,4 miliar hingga kuartal III/2022 secara year-to-date (YtD).
Di sisi lain, dorongan menjaga stabilitas melalui ruang interest rate differential yang menarik antara Fed Rate dan BI7DRRR ataupun antara yield SBN dan yield US Treasury menjadi hal yang telah meningkatkan cost of fund domestik ke tingkat yang lebih tinggi. Meskipun demikian, perlu dicermati bahwa peningkatan yield SBN 10 tahun sebesar 54,2 bps (YtD hingga 26 Desember 2022) lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan yield US treasury 10-year sebesar 223,7 bps ataupun juga lebih rendah dibanding kenaikan Bi7DRRR yang mencapai 200,0 bps.
Oleh karena itu, dampak penurunan kepemilikan asing pada tradable SBN yang mencapai Rp128,66 triliun tampaknya bisa diantisipasi dengan kenaikan kepemilikan investor individu domestik yang naik Rp121,85 triliun pada periode yang sama, ditambah Asuransi dan Dana Pensiun yang bahkan naik lebih dari Rp200 triliun.
Karenanya, stabilitas harga SBN, salah satunya melalui diversifikasi produk SBN masih menjadi hal yang positif guna menjaga volatilitas yang dimungkinkan berasal dari aliran net-sell Investor Asing ataupun guncangan risiko global. Disamping itu, terlepas dari pro-kontra UU P2SK yang merupakan omnibus law sektor keuangan, dimasukkannya kebijakan burden sharing sebagai kebijakan contra-cyclical bagi Bank Indonesia di saat krisis turut diharapkan mampu menjaga stabilitas pasar keuangan di tengah berbagai kemungkinkan skenario perekonomian saat ini dan masa mendatang. Bahkan kami juga harapkan tidak akan memicu resiko integritas.
Disisi lain, UU P2SK yang turut mengatur lima hal yang sangat krusial bagi reformasi sektor keuangan lainnya, yakni (1) penguatan kelembagaan otoritas sektor keuangan dengan tetap memperhatikan indepedensi; (2) penguatan tata kelola dan peningkatan kepercayaan publik; (3) mendorong akumulasi dana jangka panjang sektor keuangan untuk kesejahteraan dan dukungan pembiayaan pembangunan yang berkesinambungan; (4) perlindungan konsumen; dan (5) literasi, inklusi dan inovasi sektor keuangan.
Untuk itu, kami harap dengan reformasi sistem keuangan, ke depan akan turut mendorong terjadinya efisiensi di pasar keuangan Indonesia, disamping turut menjaga eksposur risiko global bagi ekonomi dalam negeri yang diindikasikan dengan pergerakan persepsi risiko terhadap Indonesia dan nilai tukar rupiah nantinya.
Disisi lain risiko defisit fiskal 2022 hingga 14 Desember 2022 yang hanya mencapai 1,22% terhadap PDB, kami harap dapat berlanjut di tahun ini. Terlebih target defisit fiskal 2023 lebih rendah (hanya sebesar 2,84%) dibanding target APBN 2022 (sebesar 3,9%). Hal ini utamanya didorong oleh ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan perpajakan yang diharapkan masih akan berlangsung, seiring adanya larangan ekspor raw material, contohnya nikel dan bauksit yang akan diberlakukan di tengah 2023.
Di samping itu, dengan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun 2022 per 14 Desember yang mencapai Rp232.2 triliun turut diharapkan menjadi salah satu bumper bagi perekonomian ditengah kemungkinan kenaikan suku bunga acuan lanjutan BI ataupun bank sentral lainnya.
Politik Akhir 2023
Sementara itu, kondisi politik Indonesia dan global diperkirakan masih volatile. Indonesia akan menghadapi Pemilu 2024 di mana pemilihan presiden dan pemilihan legislatif digelar serentak pada 14 Februari 2024. Ada kemungkinan calon presiden dan wakil presiden akan dianggap sebagai cerminan partai politik di pemilihan legislatif mendatang.
Kami melihat hal ini akan mendorong kontestasi elektoral dipastikan akan berjalan ketat, dimulai dari pencalonan presiden yang pendaftarannya dimulai September 2023.
Lebih lanjut, kondisi tersebut turut diikuti dengan petahana yang tidak mungkin akan mengiuti kontestasi di 2024 mendatang, sehingga para pelaku ekonomi mesti menyesuaikan pola ekstensifikasi ataupun intensifikasi dengan kemungkinan kebijakan ekonomi yang akan diangkat oleh calon pemerintahan baru.
Walaupun begitu, dengan makin dewasanya masyarakat Indonesia, kekuatiran terjadinya konflik terkait politik identitas ataupun konflik sosial-ekonomi lainnya lebih rendah dibanding periode-periode pemilu sebelumnya.