Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengungkap pentingnya penegakkan hukum dan sanksi tegas untuk mencegah oknum dan mafia impor barang tekstil dan produk tekstil (TPT) yang 'bermain' di lapangan.
Ketua Umum APSyFI, Redma Wirawasta mengatakan pihaknya mendukung langkah pemerintah terkait rencana perubahan pengawasan yang semula bersifat Post-Border menjadi Border dengan pemenuhan Persetujuan Impor (PI) dan Laporan Surveyor (LS).
"Kalau langkah pemerintah efektif, perbaikan kondisi akan terlihat dalam 4 bulan kedepan, karena barang impor ini sudah banjir terlalu banyak dipasar," kata Redma kepada Bisnis, Senin (9/10/2023).
Adapun, kebijakan tersebut nantinya akan tertuang dalam Peraturan Menteri dari Kementerian/lembaga terkait, yakni Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.
Kendati demikian, Redma mengingatkan regulasi pengawasan Border yang dilakukan oleh petugas bea cukai di kawasan pabean perlu ditambah dengan penegakkan hukum agar tak ada lagi celah impor ilegal.
"Oknum di lapangan bersama mafia impor akan terus cari cara lain, termasuk praktik borongan yang masih belum ada satu menteri pun yang melarangnya, padahal itu menjadi jalan masuk utama barang-barang impor ilegal," ujarnya.
Menurut dia, seluruh kebijakan pemerintah, jika para pemangku kepentingan di lapangan dan oknum petugas bea cukai tidak diselesaikan dengan penegakan hukum, maka masalah impor ilegal tidak akan selesai.
Baca Juga
Pasalnya, kelompok importir ilegal dan kroninya itu akan terus mencari celah, terlebih belum ada regulasi yang dapat memberikan sanksi untuk mengatasi hal tersebut.
Di sisi lain, Redma menuturkan, impor ilegal dapat ditelusuri melalui data trade map, sekaligus untuk mengukur keberhasilan dari kebijakan pemerintah. Selama gap catatan ekspor China ke Indonesia dan data impor RI dari cina masih besar, artinya impor ilegal itu masih ada.
"Secara regulasi langkah ini bisa memperbaiki kondisi, hanya perlu diperhatikan dalam tahap implementasinya," jelasnya.
Di samping itu, Sekretaris Eksekutif Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi mengatakan penegakan hukum atas impor ilegal ataupun importasi unprocedural juga sangat penting.
"Diperlukan pengetatan impor dan penegakan hukum yang berkeadilan untuk menciptakan industri dalam negeri yang berdaya saing," jelas Farhan.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, industri TPT masih dala fase wait and see hingga beberapa waktu ke depan. Hal ini dikarenakan kondisi pasar ekspor yang masih belum ada tanda-tanda untuk pulih.
Sementara itu, konsumsi dalam negeri kini dipenuhi dengan barang-barang impor ilegal yang tidak bayar pajak/bea masuk, sehingga sulit untuk bersaing dengan produk-produk seperti ini.
Sebelumnya, APSyFI membagikan data perbandingan data Badan Pusat Statistik (BPS) nasional terkait impor TPT dengan data ekspor China. Hasilnya menunjukkan gap dalam jumlah besar yang menunjukkan derasnya impor ilegal.
Berdasarkan data dari General Custom Administration of China, ekspor TPT (HS 50-63) China ke Indonesia mencapai US$6,5 miliar. Sedangkan, BPS mencatat angka impor TPT dari China hanya US$3,55 miliar.
Dari data tahun 2022 tersebut, Redma mencatat berdasarkan data International Trade Center (ITC), terdapat gap senilai US$2,94 miliar atau setara Rp43 triliun yang tidak masuk dalam catatan resmi dari BPS.