Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mendesak pemerintah untuk memberantas mafia kuota impor yang menjadi penyebab industri masih sulit bersaing dengan produk asing yang lebih murah.
Sekretaris Jenderal APSyFI , Farhan Aqil Syauqi mengatakan hingga saat ini kondisi industri tekstil masih sulit untuk ekspansi dan tidak ada perubahan signifikan terkait produksi.
“Sangat sulit saat ini untuk bersaing di dalam negeri. Kami head to head dengan produk China yang melakukan dumping atau predatory pricing,” kata Farhan kepada Bisnis, Jumat (1/8/2025).
Dia melihat konsumsi masyarakat saat ini memang cenderung naik namun lebih memilih produk-produk yang murah di pasar. Kondisi tersebut yang mengganggu daya saing industri dalam negeri.
Dia pun tak heran jika Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia masih kontraksi di angka 49,2 pada Juli 2025. Kontraksi terjadi selama 4 bulan terakhir.
Kendati demikian, data BPS menunjukkan impor bahan baku/penolong dan barang modal terus mengalami peningkatan. Impor bahan baku penolong naik juga mengalami kenaikan 2,56% menjadi US$82,75 miliar daripada periode yang sama tahun lalu senilai US$80,69 miliar.
Baca Juga
“Saat ini kami juga masih habiskan stok kami. Pasar domestik saat ini sangat penuh dengan produk bahan baku impor,” jelasnya.
Kendati demikian, Farhan menyoroti polemik mafia kuota impor yang terus bermain dan banyak meloloskan alokasi kuota yang terafiliasi satu sama lain. Alhasil, barang impor masih terus membanjiri pasar domestik.
Menurut dia, selama mafia kuota impor ini masih mengakibatkan impor bahan baku terus naik, maka akan sulit mengimplementasikan kesepakatan dagang tersebut.
Padahal, dengan adanya perbaikan atas dampak Tarif Trump 19% dan IEU CEPA ini ada sedikit perbaikan regulasi yg harusnya bisa mendongkrak kinerja industri.
“Namun, kesiapan menyokong ekspor dengan bahan baku lokal juga penting karena keharusan AS dan Eropa adalah two step process dan sustainability product,” jelasnya.