Bisnis.com, JAKARTA – Soedradjad Djiwandono, Anggota Dewan Pakar Tim Kemenangan Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, mengungkapkan strategi Presiden terpilih Prabowo Subianto mengerek rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax-to-gdp ratio sebesar 2% dari posisi saat ini di kisaran 10%.
Mantan Gubernur Bank Indonesia (1993-1998) tersebut menuturkan pemerintahan Prabowo-Gibran hanya perlu melakukan dua hal, yakni mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan menghilangkan praktik-praktik penghindaran pajak.
“Laju pertumbuhan kita juga mesti akan naik terus kan. Itu merupakan sumber juga dari penerimaan pajak kita. Di samping kongkalikong dihilangkan, itu bisa menaikan [tax ratio to GDP] 2%,” ujarnya dalam Mid Year Banking and Economic Outlook Infobank, Selasa (2/7/2024).
Secara gamblang, Soedradjad menyebutkan bahwa lahan bahas untuk praktik kongkalikong antara wajib pajak dan fiskus terbuka lebar.
Kakak ipar Prabowo Subianto itu menilai praktik-praktik tersebut umum terjadi dan menyebabkan kekurangan pendapatan negara dari yang seharusnya.
“Kalau pejabatnya bilang, Anda punya kewajiban pajak Rp1 miliar nih, tapi bayar aja Rp600 juta deh hanya Anda kasih saya Rp200 juta ya, jadi anda dapat Rp200 juta saya dapat Rp200 juta,” tuturnya.
Baca Juga
Guru Besar Bidang Ekonomi Internasional Nanyang Technological University Singapura tersebut juga menyampaikan bahwa kesungguhan pemerintah dalam efektivitas penarikan, tidak dibuka kesempatan kongkalingkong antara pejabat pajak dan pembayar pajak, jelas akan menaikan penerimaan.
“Ini katanya praktik yang begitu umum, kalau itu dihilangkan saja, saya berani tanggung tax ratio kita naik deh 2%. Jadi it’s huge challenge tapi bukan impossible untuk diselesaikan,” tegasnya.
Adapun, Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti menyampaikan Kemenkeu dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menetapkan target tax ratio tahun depan.
“[Target tax ratio] 10,09% hingga 10,29%,” ujarnya di kompleks Parlemen, Senin (10/6/2024).
Sementara dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merencanakan pendapatan negara yang berasal dari pajak, bea cukai, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berkisar di angka 12,14% hingga 12,36% dari PDB.
Artinya, sekitar 10,09% hingga 10,29% dari total pendapatan tersebut direncanakan berasal dari perpajakan.
Lebih Rendah dari Zaman Soeharto
Soedradjad yang merupakan kakak ipar dari Prabowo Subianto tersebut memamerkan bahwa tax ratio pada zaman pemerintahan Soeharto yang mampu tembus di angka 16% dari PDB.
"Zaman saya di pemerintahan dulu era Pak Harto, tax ratio hampir 16%, kalau sekarang hanya 10%," ujarnya.
Membandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, dan Kamboja yang di rentang 16%-18%, Indonesia jelas jauh lebih rendah.
Secara historis, pada awal pemerintahan Jokowi dalam Kabinet Kerja (2014-2019), rata-rata rasio pajak di angka 10,2%, tetapi meningkat tipis pada periode kedua Jokowi menjadi 10,3%.
Terakhir pada 2023, rasio pajak Indonesia tercatat sebesar 10,2% atau lebih rendah dari capaian 2022 yang sebesar 10,39%. Untuk tahun ini, pemerintah menargetkan rasio pajak di angka 10,2%.
Meski demikian, Presiden terpilih Prabowo Subianto optimistis perekonomian Indonesia di masa mendatang akan lebih baik dari masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma'ruf Amin.
Menurut Prabowo, salah satu upaya yang bakal dilakukan dirinya adalah melakukan efisiensi dalam pengelolaan anggaran dan menaikkan tax ratio.
"Tenang saja, saya rasa itu bisa dilakukan dari 10% kita bisa naikkan menjadi 16% seperti Thailand. Kalau sekarang US$1.500 miliar dari GDP, jika naik ke 16% maka meningkat signifikan menjadi US$1.900 miliar," katanya beberapa waktu lalu.