Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menilik Efektivitas Stimulus Industri Padat Karya Jelang Nota Keuangan

Stimulus industri padat karya di Indonesia belum efektif meningkatkan pertumbuhan sektor terkait, meski insentif fiskal dan moneter telah diberikan.
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA — Guyuran insentif untuk industri padat karya pada awal tahun ini belum signifikan mendorong kinerja pertumbuhan. Hal ini tercerminkan dari sejumlah sektor yang masih terkontraksi meski telah diguyur stimulus dari negara.

Pemerintah memberikan paket stimulus untuk sektor industri padat karya pada awal tahun ini. Pertama, insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) yang berlaku untuk sektor tekstil, pakaian jadi, alas kaki, dan furnitur. 

Kedua, pemerintah juga memberikan diskon 50% atas pembayaran iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) selama 6 bulan untuk 3,76 juta pekerja di sektor padat karya. 

Ketiga, untuk mendukung peningkatan produktivitas industri maka diberikan pembiayaan revitalisasi mesin dengan skema subsidi bunga sebesar 5% dan range plafon kredit tertentu. 

Meski berlaku sepanjang paruh pertama tahun ini, kinerja sejumlah sektor padat karya seperti tekstil dan pakaian, serta furnitur/kayu masih stagnan dan cenderung melemah di kuartal II/2025, meskipun industri alas kaki masih tumbuh positif. 

Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) industri tekstil dan pakaian jadi tumbuh di angka 4,35% (year-on-year/yoy) pada kuartal kedua. Laju pertumbuhannya turun tipis dari periode kuartal I/2025 4,64% yoy. Namun, tumbuh dari 0,03% pada periode kuartal II/2024. 

Hal serupa terjadi di industri furnitur yang terkontraksi -0,95% yoy pada kuartal II/2025 atau turun dari kuartal sebelumnya 9,86% yoy. Industri kayu juga kontraksi -3,71% yoy turun dari sebelumnya 0,11% yoy. 

Sementara itu, industri alas kaki masih dapat tumbuh positif di angka 8,31% yoy pada kuartal kedua tahun ini, lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya 6,95% yoy. 

Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani mengatakan, pemerintah harus mendorong insentif fiskal maupun moneter yang tepat sasaran dan mendorong low cost economy untuk menstimulasi industri padat karya. 

Menurut Ajib, percepatan restitusi, pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP), relaksasi pajak untuk UMKM merupakan bagian kebijakan fiskal yang pro dengan pertumbuhan. 

"Kemudian, tingkat suku bunga kredit yang murah perlu didorong terutama untuk sektor padat karya," kata Ajib kepada Bisnis, dikutip Kamis (14/8/2025). 

Kisi-kisi Stimulus Padat Karya Berlanjut

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, pemerintah akan menyalurkan stimulus ekonomi senilai Rp10,8 triliun pada kuartal III/2025. Stimulus itu akan melanjutkan paket yang telah disalurkan pemerintah untuk mendorong konsumsi masyarakat pada semester I/2025 senilai Rp24,44 triliun.  

"Kemudian untuk triwulan ketiga kita akan terus masih ada Rp10,8 triliun stimulus aktivitas ekonomi yang akan terlaksana di triwulan ketiga," ungkap Sri Mulyani pada konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, beberapa waktu lalu. 

Tak hanya itu, Kementerian Keuangan juga disebut akan memperkuat sektor manufaktur nasional, di antaranya melalui stimulus dari sisi suplai pada semester I/2025. 

Kebijakan yang ditempuh meliputi fasilitas pembiayaan bagi industri padat karya, optimalisasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), serta percepatan deregulasi untuk memperbaiki iklim usaha.

"Respons kebijakan terkait perdagangan global disiapkan, mengantisipasi munculnya berbagai risiko tekanan. Implementasi kebijakan yang tepat sasaran diyakini mampu menjaga stabilitas produksi, memperkuat daya saing ekspor, serta mendukung kesinambungan pemulihan dan ketahanan ekonomi nasional," ujar Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal, Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu.

Menurut Febrio, upaya tersebut sebagai langkah untuk memulihkan kontraksi Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia yang berada di level 49,2 pada Juli 2025. 

Meski sudah membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di level 46,9, posisi itu masih di bawah 50 yang menandakan aktivitas manufaktur mengalami kontraksi. 

"Perkembangan ini mencerminkan tantangan pemulihan sektor manufaktur global masih berlangsung," tuturnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro