Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jelang Jokowi Lengser, Bagaimana Nasib Swasembada Pangan?

Swasembada pangan menjadi salah satu program prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Lantas seperti apa realisasinya?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan peninjauan terhadap program pemberian bantuan pompa untuk pengairan sawah dan pertanian atau pompanisasi di Desa Bandan Hurip, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung pada Kamis, 11 Juli 2024 - BPMI Setpres/Vico.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan peninjauan terhadap program pemberian bantuan pompa untuk pengairan sawah dan pertanian atau pompanisasi di Desa Bandan Hurip, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung pada Kamis, 11 Juli 2024 - BPMI Setpres/Vico.

Bisnis.com, JAKARTA - Swasembada pangan menjadi salah satu program prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, program ini telah digaungkan sejak periode pertama pemerintahannya. Lantas seperti apa realisasinya?

Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) menyebut, suatu negara dikatakan swasembada jika produksi dalam negeri dapat memenuhi 90% kebutuhan nasional.

Jika merujuk pada definisi tersebut, Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian mengatakan bahwa komoditas beras dan jagung dapat dikatakan swasembada.

“Jika mengacu kepada definisi tersebut, sejauh ini untuk komoditas beras dan jagung kita masih dapat dikatakan swasembada,” kata Eliza kepada Bisnis, Kamis (15/8/2024).

Namun, swasembada ini belum tentu dapat berkelanjutan mengingat tingkat produktivitas beberapa tanaman seperti padi terus mengalami penurunan sementara permintaan masyarakat meningkat. Ini tentu akan memperbesar porsi impor pangan yang dapat menjadikan Indonesia tak lagi swasembada 

Untuk komoditas lainnya seperti kedelai, Eliza menilai sangat sulit untuk mencapai swasembada. Pasalnya, komoditas ini sudah 90% impor. Ditambah lagi, tidak ada keseriusan dari pemerintah dalam pengembangan kedelai.

“Kedelai kita kalah dari segi kualitas dan harga dibandingkan kedelai dari Argentina dan Brazil,” ujarnya.

Menurutnya, pangan Indonesia akan semakin carut marut jika pemerintah masih memiliki paradigma yang sama. Dia mengatakan, pemerintah harus reorientasi arah kebijakan pangan karena paradigma ini akan menentukan pilihan-pilihan kebijakan.

Misalnya dari kebijakan belanja pemerintah untuk sektor pertanian. Eliza menuturkan, belanja Kementerian Pertanian (Kementan) lebih dominan untuk belanja barang.

“Belanja pegawai 15%, belanja barang yang mana itu habis pakai 81%, belanja modal infrastruktur dasar sangat kecil sekali hanya 4%,” ungkapnya.

Bantuan-bantuan pemerintah yang sifatnya personal seperti pompa, benih, traktor dan lainnya dinilai akan percuma jika tidak didukung infrastruktur dasar seperti irigasi, jalan usaha, cold storage, dan kebijakan harga.

Belanja pemerintah yang masih berkutat pada bantuan personal ini juga dinilai sangat rentan penyelewengan dan mark up yang berujung pada inefisiensi dan kurang efektifnya belanja pemerintah.

Kemudian dari sisi belanja, dana alokasi khusus (DAK) fisik tahun 2024 pun untuk irigasi hanya sekitar Rp1,68 triliun. Anggaran ini ditujukan untuk seluruh Indonesia.

Besaran anggaran untuk irigasi dinilai sangat tidak cukup untuk merevitalisasi kondisi irigasi yang sudah rusak secara sistemik akibat lamanya pembiaran. Untuk itu, pemerintah perlu memprioritaskan belanjanya untuk membangun infrastruktur pertanian secara serius.

Selain itu, dari sisi penggunaan benih yang high yielding, climate resilience, dan pest resilience juga disebut masih kurang sehingga produktivitas petani Indonesia relatif masih rendah.

Eliza mengatakan, hal ini terjadi lantaran minimnya ekosistem inovasi riset yang memadai, sehingga ada gap antara yang melakukan R&D dan petani di lapangan. 

“Dari sisi regulasi belum ada yang mengatur kolaborasi riset dan memasifkan produk riset sehingga bisa diterapkan secara luas oleh para petani kita,” pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ni Luh Anggela
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper