Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap adanya sederet permasalahan yang mengakibatkan terhambatnya Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Berdasarkan laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2024, hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan masih terdapat permasalahan signifikan yang mengakibatkan terhambatnya Kementan dan Bapanas untuk memenuhi ketersediaan dan keterjangkauan pangan yang efektif untuk mewujudkan ketahanan pangan tahun 2021 sampai dengan semester I/2023.
Mengacu hasil pemeriksaan kinerja atas pemenuhan ketersediaan dan keterjangkauan pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan mengungkap adanya 12 temuan yang memuat 15 permasalahan ketidakefektifan. Selain itu, BPK juga menemukan adanya satu permasalahan pemborosan.
Adapun, sederet permasalahan yang dimaksud, antara lain pertama, perhitungan produksi dan kebutuhan komoditas pangan strategis yang dinilai belum sepenuhnya valid dan mutakhir.
Permasalahan ini terlihat pada penyusunan prognosa neraca pangan strategis yang disusun oleh Bapanas yang dinilai belum sepenuhnya didasarkan pada data produksi dan kebutuhan yang valid dan mutakhir, serta belum sepenuhnya tersinkronisasi dengan Sistem Nasional Neraca Komoditas (SNANK).
“Akibatnya, proyeksi Neraca Pangan Bapanas dan Neraca Komoditas untuk komoditas padi, jagung, kedelai, bawang, cabai, gula, daging lembu, daging unggas, dan telur unggas pada SNANK tidak bisa dijadikan alat ukur dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan dalam rangka stabilisasi pasokan dan harga pangan nasional, termasuk kebijakan impor,” ungkap laporan BPK, seperti dikutip pada Sabtu (2/11/2024).
Baca Juga
Untuk itu, BPK telah merekomendasikan kepada kepala Bapanas agar berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Informasi Geospasial (BIG), Perum Badan Urusan Logistik (Bulog), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan instansi lain yang terkait dengan data statistik pangan untuk pengintegrasian data yang berbasis digital dan mutakhir dari data kebutuhan, persediaan, produksi, dan distribusi serta impor pangan.
Permasalahan kedua yang ditemukan BPK adalah sarana produksi pertanian berupa benih, bibit, pupuk, dan pakan yang belum mencukupi untuk memproduksi pangan strategis sesuai kebutuhan nasional.
“Permasalahan tersebut di antaranya Kementan belum menganalisis kebutuhan minimal benih, bibit, pupuk, dan pakan untuk memproduksi pangan strategis,” ungkapnya.
Selain itu, Kementan juga dinilai belum optimal memenuhi ketersediaan benih bersertifikat dan benih/bibit ternak berkualitas untuk mencukupi kebutuhan nasional. Imbasnya, Kementan belum dapat mencapai pemenuhan produksi jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, daging lembu, dan tebu untuk mencapai ketahanan pangan nasional.
BPK pun telah merekomendasikan kepada menteri pertanian untuk mengoptimalkan analisis kebutuhan minimal atas benih bersertifikat dan pupuk. Ini dilakukan untuk dapat memproduksi komoditas pangan strategis sesuai kebutuhan nasional, serta melakukan upaya menjamin ketersediaan benih bersertifikat dan pupuk non subsidi.
Di samping itu, BPK juga menemukan permasalahan terkait tata cara pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) dan harga acuan pembelian beras luar negeri belum diatur secara jelas.
Hasil pemeriksaan menunjukkan regulasi yang mengatur tata cara pengadaan cadangan pangan pemerintah (CPP), khususnya pengadaan CBP, baik yang diserap dari dalam negeri maupun pembelian dari luar negeri, belum disusun dan ditetapkan dengan Peraturan Bapanas.
Pasalnya, BPK menyebut bahwa selama ini tata cara pengadaan CBP dilaksanakan oleh Perum Bulog. Selain itu, Bapanas juga belum menetapkan kriteria harga pembelian pemerintah atau harga acuan pembelian yang dapat dijadikan patokan bagi Perum Bulog dalam pembelian beras dari luar negeri.
“Akibatnya, pengendalian atas pengadaan CPP, khususnya pengadaan beras dari luar negeri lemah,” imbuhnya.