Bisnis.com, JAKARTA - Pailitnya Sritex jelas suatu tanda serius atas mundurnya dunia industri di Tanah Air, mengingat Sritex perusahaan tekstil dan garmen terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Tentu patut diapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto tugaskan empat kementerian untuk membantu Sritex keluar dari kepailitan, yaitu Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN dan Kementerian Tenaga Kerja.
Dalam melihat permasalahan Sritex, penulis akan lebih mengupas aspek eksternal, bukan internal seperti beban utang Rp25 triliun (Kompas.com, 25 Oktober 2024) dan ketenagakerjaan. Sudah pasti tim Sritex dan tim Pemerintah sedang bekerja keras untuk merumuskan skema yang tepat dan terukur agar Sritex bisa keluar dari kepailitan.
Aspek eksternal yang telah bikin runyam bisnis Sritex, terutama banjirnya produk impor sejenis, yang diperparah dengan penurunan pasar domestik karena pandemi Covid-19, dan pelemahan pasar global karena berbagai masalah seperti Covid-19, perang di Ukraina dan isu Palestina di Timur Tengah.
Kerunyaman tersebut sebagaimana dikeluhkan oleh Komisaris Utama Sritex Iwan Setiawan kepada Menteri Perindustrian Agus Gumiwang karena adanya Keputusan Menteri Perdagangan No. 08/2024. Kepmen tersebut menghapus syarat pertimbangan teknis (pertek) untuk impor, dengan kata lain mempermudah produk impor masuk. Peraturan ini telah mengganggu operasional industri tekstil dalam negeri. Malah telah membuat sejumlah pelaku usaha industri tekstil terpukul secara signifikan hingga pada akhirnya gulung tikar.
Lantas bagaimana menghadapi serbuan produk-produk dari China, yang tentunya tidak terbatas tekstil dan garmen saja. Kalaupun tekstil dan garmen tidak hanya dihadapi Sritex, karena banyak perusahaan tekstil dan garmen Indonesia yang sekarat, malah gulung tikar. Tentu tugas berat bagi empat menteri karena mesti solutif, komprehensif dan berkelanjutan.
Baca Juga
Jelas sangat tidak mudah untuk mengatasi kerunyaman tersebut, yang dikenal sebagai distorsi perdagangan, karena saling berkelindan seperti isu kepabeanan, kepolisian, keimigrasian, perdagangan dll. Tentu patut diapresiasi kerja Kantor Bea Cukai dalam mengawasi secara ketat arus keluar masuk barang, baik di bandara dan pelabuhan. Ketatnya pengawasan ini sangat dirasakan kalangan masyarakat, malah sampai seorang pengusaha senior Peter Gontha membuat komentar khusus di laman FB-nya.
Namun, tetap saja menjadi pertanyaan bagaimana bisa serbuan barang-barang impor terus saja terjadi secara masif. Mungkin contoh kasus di lapangan bisa jelaskan permasalahannya.
Dalam podcast dengan Akbar Faisal pada 1 November 2024, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSYFI) Redma Gita Wirawasta menyebutkan bahwa Permendag No. 8/2024 hanya memperlancar impor karena tidak perlu diverifikasi. Tetapi jauh sebelum itu, barang impor pakaian sudah merajalela, yang kebanyakan secara ilegal tanpa perlu bayar pajak dan bea masuk. Selain itu, impor pakaian juga dilakukan secara borongan, di mana cukup bayar Rp200 juta melalui jalur hijau. Tidak perlu lagi bayar PPN, bea masuk dan safeguard untuk pakaian jadi.
Lebih lanjut, Redma Gita membeberkan bahwa barang impor tersebut dijual dibawah harga produksi, padahal sudah dengan harga dumping. Tentu dugaan tersebut perlu dikaji secermat mungkin, jangan asal reaktif dalam merespons, sehingga hanya akan mengundang retaliasi. Kalau perlu menggunakan lembaga intelijen bisnis sehingga langkah yang nanti diambil benar-benar terukur.
Tentu saja lembaga intelijen bisnis dalam bekerja akan sangat memperhatikan perjanjian-perjanjian perdagangan yang mengikat kedua belah pihak, baik dalam tingkat bilateral seperti BETC (Bilateral Economic and Trade Cooperation) yang diperbarui tahun 2022, tingkat regional adanya ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) tahun 2002, maupun tingkat multilateral dengan aturan-aturan WTO.
Selain itu, pertimbangan prinsip kehati-hatian, bisa pula dengan mengikutsertakan KBRI Beijing. Pernah penulis diminta tolong teman yang kesulitan mendapatkan barang yang diimpor saat pandemi tahun 2022, karena eksportir China belum mau melepasnya dengan berbagai macam alasan, padahal termin-termin pembayaran sudah dipenuhi.
Akhirnya, pihak eksportir China bersedia mengapalkan barang dimaksud setelah KBRI Beijing melakukan pendekatan pada pihak-pihak terkait dengan menggunakan akses diplomatik.
Oleh karena itu, sebelum kajian selesai dilakukan, sebaiknya jangan masing-masing pihak telah memberikan pernyataan publik yang tampaknya masih belum dikoordinasikan, seperti tidak adanya pemutusan hubungan tenaga kerja (PHK) dan tidak ada suntikan dana pemerintah (bailout).
Kalau semua informasi nantinya dapat dikumpulkan dan dikaji secara terpadu tentu akan menjadi landasan yang kuat untuk keluarnya suatu rekomendasi valid dalam rangka mengatasi kepailitan Sritex.
Kalau Sritex akhirnya bisa keluar dari ancaman kepailitan, ini jelas menjadi langkah awal yang baik bagi pemerintahan Presiden Prabowo, dengan sendirinya telah melewati batu ujian. Tapi sebaliknya, kalau gagal hanya akan mempersulit ruang gerak Prabowo dalam membenahi ekonomi nasional ke depan. Kita tunggu saja bagaimana kelanjutannya.