Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha peralatan listrik, elektronik hingga permesinan ragu Indonesia cukup menarik untuk menjadi negara tujuan relokasi pabrikan industri dari penanaman modal asing (PMA) di tengah perang dagang.
Ketua Umum Produsen Peralatan Listrik Indonesia (APPI) Yohanes P. Widjaja tak memungkiri terdapat beberapa minat dari investor asing untuk membangun fasilitas manufaktur di Indonesia seiring dengan pemberlakuan tarif Amerika Serikat (AS). Apalagi, Indonesia dikenai tarif 19%, relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara kawasan lainnya.
"Ini kembali kepada jenis produknya, jadi sangat bervariasi, tapi memang ada kabar yang mengatakan ada beberapa pabrikan Taiwan yang berniat membuka pabrik di Indonesia," kata Yohanes kepada Bisnis, Selasa (12/8/2025).
Adapun, Taiwan dikenakan tarif 20% untuk masuk ke AS, begitupun dengan Vietnam. Kendati demikian, minat investasi ini tak bisa diartikan secara keseluruhan industri karena sifatnya hanya untuk beberapa produk saja.
Yohanes tak memerincikan terkait minat investasi yang dimaksud merupakan ekspansi atau relokasi pabrik. Namun, tujuan investor yakni untuk memperluas rantai pasok komponen dan melihat Indonesia sebagai pasar potensial.
"Mereka investasi di Indonesia yang memang supply chain komponennya tidak sulit untuk negara Indonesia," ujarnya.
Baca Juga
Beberapa investor di sektor ini disebut banyak melihat potensi pasar untuk produk seperti transformator, panel listrik tegangan menengah dan tinggi, serta produk komponen transmisi.
Jika merujuk data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, realisasi investasi industri mesin, elektronik, instrumen kedokteran, peralatan listrik, presisi, optik dan jam mencapai Rp21,8 triliun pada semester I/2025. Adapun, investasi dari asing sebesar Rp4,2 triliun dengan 6.210 proyek.
Secara tahunan, pada kuartal II/2025, nilai investasi seluruh sektor tersebut mencapai Rp10,8 triliun atau turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp11,3 triliun. Kendati demikian, data tersebut tak diperinci secara sektoral.
Di sisi lain, Sekjen Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Daniel Suhardiman mengatakan, potensi relokasi harus dibarengi sejumlah dukungan dari pemerintah, baik berupa proteksi pasar maupun insentif.
Awal tahun ini, pihaknya mencatat hilangnya potensi relokasi pabrik dari China ke Indonesia. Hal ini lantaran perang dagang dengan AS yang memanas, sementara proteksi pasar dalam negeri dinilai masih minim sehingga investor membatalkan rencana tersebut.
"Yang pasti, rencana relokasi khususnya dari China, hampir seluruhnya dibatalkan," tuturnya.
Di sisi lain, Daniel memproyeksi potensi relokasi pada 2025 akan jauh lebih sulit karena turunnya permintaan global terhadap produk elektronik lokal. Apalagi, di China sendiri juga mengalami penurunan sehingga mencari pasar ekspor yang lain, salah satunya Indonesia.
Tak hanya itu, industri dalam negeri juga menghadapi tantangan karena terdampak keputusan tarif Trump meskipun tidak begitu besar. Beberapa ekspor produk elektronik ke AS yang terdampak yaitu AC, printer, speaker, dan small appliances.
"Ancaman besarnya justru inflow barang-barang dari negara produsen seperti China, Vietnam, Thailand masuk ke Indonesia, ini untuk hampir seluruh produk elektronika rumah tangga," jelasnya.
Lebih lanjut, Ketua Umum Gabungan Industri Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (Gamma) Dadang Asikin mengatakan, pihaknya juga belum melihat investasi maupun relokasi sektor permesinan ke dalam negeri.
Kendati demikian, untuk sektor logam dasar dinilai masih prospektif didukung oleh program hilirisasi yang terus berlanjut. Namun, investasi yang digelontorkan industri saat ini masih penuh kewaspadaan.
Sebelumnya, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) optimistis dampak penurunan tarif bea masuk produk Indonesia ke Amerika Serikat(AS) yang kini menjadi 19% dapat membuka berbagai peluang investasi untuk masuk ke dalam negeri.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, tak sedikit investor dari Vietnam dan Taiwan yang mulai minat untuk merelokasi usahanya ke Indonesia dikarenakan tarif ke AS yang lebih rendah.
Adapun, tarif produk Vietnam ke AS dipatok sebesar 20%, sedangkan produk asal Taiwan ke AS mencapai 32%. Meski berbeda tipis, Indonesia dinilai lebih diuntungkan.
"Tarif 19% ini masih banyak breakdown yang dibawa yang akan membuat ekonomi kita bagus ke depan, lapangan kerja, bahkan banyak orang dari Vietnam, Taiwan pengen juga relokasi karena 1% very meaningful sebenarnya," kata Luhut di Jakarta, belum lama ini.