Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah dinilai dapat mengoptimalkan alternatif sumber penerimaan negara lain ketimbang menaikkan PPN menjadi 12% pada 2025 yang berisiko memberi tekanan bagi perekonomian nasional.
Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan pemerintah dapat mempertimbangkan 3 sumber alternatif selain PPN.
“Pertama, memperluas basis pajak fokus pada sektor ekonomi informal dan digital yang masih banyak belum terjangkau pajak,” kata Achmad, dikutip Minggu (17/11/2024).
Kedua, efisiensi belanja negara dengan mengurangi pengeluaran untuk proyek-proyek tidak prioritas. Ketiga, kebijakan pajak progresif atau bebankan pajak lebih besar pada golongan ekonomi atas, bukan membebani seluruh masyarakat secara merata.
“Kenaikan PPN menjadi 12% adalah kebijakan yang tidak bijak di tengah kondisi ekonomi yang sedang berusaha pulih,” ujarnya.
Dalam hal ini, dia menilai pemerintah perlu mencari solusi yang lebih inovatif dan adil untuk memperbaiki keuangan negara tanpa menekan masyarakat kelas menengah, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Baca Juga
“Jangan sampai kebijakan ini justru menjadi bumerang yang melemahkan daya saing ekonomi Indonesia di masa depan,” terangnya.
Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 juga dikritisi lantaran berpotensi menciptakan dampak negatif yang luas bagi perekonomian.
Kenaikan tarif PPN tersebut akan berdampak pada tinggi nya harga barang dan jasa, termasuk kebutuhan rokok. Padahal, daya beli kelompok menengah akan tergerus sehingga memicu pengurangan konsumsi barang penting.
Apabila daya beli menurun, konsumsi domestik yang merupakan kontributor terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan ikut melemah.
"Peningkatan biaya hidup akan semakin terasa berat karena pendapatan kelas menengah tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan," ujarnya.