Bisnis.com, JAKARTA - Upaya pemerintah mempertahankan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% dalam 5 tahun terakhir nyatanya masih menyisakan ironi. Indikator makro tersebut ternyata tidak berimplikasi positif ke semua lapisan masyarakat bila dibedah lebih dalam.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (Unpad) Profesor Arief Anshory Yusuf mencatat pada periode 2002 hingga 2019 ketika pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5-6%, dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan. Hal itu ditunjukkan dari penambahan jumlah midle class 42 juta orang, aspiring midle class 38 juta orang, dan penurunan kelompok miskin dan rentan miskin 34 orang juta dari 2002 ke 2019.
Kondisi sebaliknya justru terjadi dalam periode 2019-2024 ketika terjadi penurunan besar-besaran kelas menengah yang diikuti peningkatan kelas miskin dan rentan miskin. Dalam catatannya, selama lima tahun terakhir ini terjadi penurunan midle class sebanyak 9,5 juta orang yang diikuti penambahan kelas miskin dan rentan miskin sebesar 12,7 juta orang.
"Dan yang membuat miris ini terjadi ketika ekonomi kita tumbuh positif dan banyak yang bilang positif baik-baik saja, 5%. Kok bisa ada pembangunan dikuti dengan penurunan kesejahteraan," kata Arief dikutip dari channel Youtube Podcast SKS, Minggu (17/11/2024).
Anggota Dewan Ekonomi Nasional tersebut tidak menampik dalam lima tahun terakhir ekonomi Indonesia memang sempat dihantam pendemi. Namun, dia melihat bagaimana Indonesia bisa bangkit, usai mencatatkan perlambatan ekonomi -2,07% pada 2020, lalu tumbuh 3,69% pada 2021, bahkan bisa mencapai 5,31% pada 2022.
Dalam kondisi ideal, menurutnya ketika ekonomi tumbuh positif seperti itu seharusnya dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan fakta ada penurunan kelas menengah dan peningkatan kelas miskin dan rentan, Arief menduga yang menjadi masalah bukan hanya faktor Covid-19 saja.
Baca Juga
"Dalam ekonomi pembangunan ada istilahnya namanya immiserizing growth, jadi pertumbuhan ekonomi yang menyengsarakan. Cirinya apa, dia dibarengi dengan penambahan kemiskinan," kata Arief.
Kondisi ini menurutnya mengindikasikan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak inklusif. Artinya, tidak semua orang merasakan manfaat dari pertumbuhan ekonomi negara.
Menurut Arief, pertumbuhan ekonomi yang inklusif adalah pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan penurunan kemiskinan dan bertambahnya jumlah pekerja formal. Apa yang terjadi dalam lima tahun terakhir ini, menurut Arief justru menjadi kebalikan dari capaian Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode pertamanya.
"Selama periode pertama Jokowi, itu pertumbuhan riil jauh lebih tinggi dari GDP. Cirinya tadi, ketimpangan berkurang atau stabil dan kemiskinan berkurang. Ini inklusif dan ini terjadi 17 tahun (2002-2019) ini. Makannya semua kelas naik kecuali kelas miskin dan rentan. Selama periode yang baru-baru ini, yang terjadi sebaliknya," pungkasnya.