Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan memangkas aturan penyaluran pupuk bersubsidi ke petani dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang ditargetkan pada Januari 2025. Langkah ini pun disebut bisa membantu Indonesia menuju swasembada pada 2028.
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menyebut selama ini program pupuk bersubsidi bermasalah di semua level, mulai dari pendataan, penyaluran, pengawasan, hingga verifikasi dan validasi.
Sayangnya, kata dia, regulasi yang dibuat untuk mempermudah petani dalam mendapatkan pupuk subsidi sampai sekarang tak kunjung tercapai. Menurut Khudori, pemerintah harus mempermudah akses petani terhadap pupuk bersubsidi, selayaknya mengakses subsidi BBM. Dia juga meminta agar pemerintah melakukan pembaruan data terkait penerima pupuk subsidi.
“Upaya memangkas, mengevaluasi atau menyisir regulasi adalah langkah penting untuk, pertama, menentukan kembali sasaran pupuk bersubsidi,” ujar Khudori kepada Bisnis, Minggu (17/11/2024).
Kedua, lanjut Khudori, apakah regulasi sudah mendukung pencapaian sasaran. Ketiga, mekanisme evaluasi dan umpan balik. Adapun, dia berharap eksekusi yang berjalan baik bisa mencapai swasembada yang diinginkan pemerintah.
“Perbaikan regulasi pupuk bersubsidi tentu akan membantu dalam pencapaian swasembada yang ditargetkan. Tetapi pupuk bukan satu-satunya dan bukan segala-galanya,” ujarnya.
Baca Juga
Sementara itu, Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Eliza Mardian memandang perlu adanya penentuan kuota dan dukungan basis data agar penyaluran pupuk berjalan efektif.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), Eliza menjelaskan baru hanya 75% petani yang tercatat dan menerima bantuan subsidi pupuk. Sementara itu, lanjut dia, syarat petani mendapatkan subsidi pupuk harus bergabung dengan kelompok tani. Namun, tidak semua petani bergabung dengan kelompok tani.
“Sehingga faktor tidak ada informasi ke petani tersebut dan petani tidak berminat berkelompok karena belum memahami manfaat bergabung kelompok tani. Kompleks sekali persoalannya,” tutur Eliza kepada Bisnis.
Maka dari itu, Eliza menyebut perlu dilakukan pembaruan data secara berkala. Dalam hal ini, setiap penyuluh di desa memiliki data petani, termasuk petani yang belum masuk ke kelompok tani. Apalagi, Eliza menerangkan bahwa pupuk merupakan satu faktor produksi yang penting dalam budidaya pertanian.
“Karena ketepatan waktu pemberian dan tepat takaran pupuk dapat mengoptimalkan pertumbuhan dan produksi tanaman,” ujarnya.
Semakin tepat kandungan unsur hara dalam pupuk, lanjut dia, maka pertumbuhan dan produksi tanaman akan semakin baik. Untuk itu, pemerintah harus membenahi skema penyaluran dengan memastikan penyaluran pupuk tepat waktu.
“Sebetulnya untuk mencapai swasembada pangan ini semata-mata karena faktor pupuk, ada banyak faktor lainnya dan itu fundamental. Misalnya irigasi dan penggunaan benih yang tinggi produktivitas,” pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan) Zulkifli Hasan (Zulhas) menyebut pemerintah akan memangkas aturan penyaluran pupuk bersubsidi ke petani dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) pada Januari 2025.
“Kita pangkas semua. Mudah-mudahan nanti Januari Perpres-nya keluar. Maka pupuk nanti tidak perlu proses lagi, petani mengajukan dulu, persetujuan Camat, persetujuan Bupati, persetujuan Gubernur, persetujuan Menteri Perdagangan, persetujuan Menteri Pertanian, persetujuan Menteri Keuangan, rumit,” kata Zulhas dalam keterangan tertulis, dikutip pada Minggu (17/11/2024).
Zulhas menjelaskan Perpres tersebut akan mengatur distribusi pupuk dari produsen langsung ke gabungan kelompok petani (Gapoktan). Sementara itu, kuota pupuk bakal diatur oleh Kementerian Pertanian (Kementan).
“[Regulasi] pupuk kita pangkas. SK [Surat Keputusan] Kementan berapa yang diperlukan, langsung [dari] Pupuk Indonesia, langsung Gapoktan, Insya Allah,” terangnya.
Artinya, jika ada keterlambatan distribusi pupuk ke petani maka jalur pendistribusian hanya terjadi antara di Gapoktan atau produsen, sehingga regulasi pupuk menjadi lebih sederhana.
“Kalau ada yang salah, Gapoktan yang tanggung jawab ke petani. Kalau Gapoktan yang salah, tanggung jawab kepada manajer area. Kalau manajer yang salah baru Pupuk [Indonesia] yang tanggung jawab. Jadi sederhana, kita sederhanakan,” terangnya.