Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) memastikan kebijakan produksi biodiesel B50 tidak akan mengganggu stok minyak goreng dalam negeri.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Dida Gardera menjelaskan pemerintah bisa memproduksi 50 juta ton minyak sawit dalam negeri. Jumlah ini dinilai tidak menjadi kendala saat Indonesia menggenjot biodiesel B50.
“Kalau itu [stok CPO untuk pangan] aman, kan relatif minyak goreng itu hanya sekitar 10 juta—11 juta [ton]. Karena kan kita produksi 50 juta [ton], jadi seharusnya nggak ada kendala lah,” kata Dida di sela-sela acara bertajuk Menggapai Kedaulatan Pangan, Energi Terbarukan dan Ekonomi Melalui Perkebunan Sawit Untuk Menuju Indonesia Emas 2045, di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (18/11/2024).
Seiring dengan cadangan minyak goreng yang dipastikan aman, Dida menuturkan harga minyak goreng yang beredar di pasar pun akan tergantung dari daya beli masyarakat.
Untuk itu, dia tidak dapat memastikan apakah harga minyak goreng akan tetap stabil meski stok yang dimiliki melimpah.
“Kalau itu [minyak goreng naik] kan memang lebih karena mekanisme di pasar dan juga tergantung daya beli masyarakat. Jadi banyak faktor kalau menurut saya,” terangnya.
Baca Juga
Menurutnya, kenaikan harga minyak goreng tidak hanya disebabkan ketersediaannya, melainkan juga ada faktor lain di dalamnya.
Namun, Dida menyampaikan bahwa harga minyak goreng cenderung relatif stabil selama tiga bulan terakhir.
Lebih lanjut, Dida juga mengungkap pemerintah berambisi memproduksi biodiesel hingga B100. Namun, ekspor CPO dan turunannya tidak akan berpengaruh atas ambisi itu, meski akan sedikit berdampak.
Terlebih, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor komoditas unggulan Indonesia, yakni minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan turunannya mencapai US$2,37 miliar pada Oktober 2024, atau naik 70,90% secara bulanan (month-to-month/MtM).
Adapun saat ini, Dida mengungkap pemerintah tengah mencari titik keseimbangan dalam memproduksi B40 hingga B100 ke depan.
“Jadi intinya ekspor kita kurang lebihnya tetap sama lah. Tapi semua itu kan tergantung harga, tergantung kondisi pasar, segala macam,” pungkasnya.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkap terdapat kekurangan pasokan bahan bakar nabati (BBN) untuk biodiesel berbasis minyak sawit 40% dengan solar atau B40 yang akan diterapkan 1 Januari 2025.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo mengatakan, saat ini terdapat 24 badan usaha bahan bakar nabati (BU BBN) yang akan memasok bahan baku B40 pada 2025. Kapasitas produksinya mencapai 15,8 juta kiloliter.
"Kekurangan kami sekitar 0,3 juta kiloliter tapi nanti mungkin kami dengan BU BBN yang ada supaya nanti meningkatkan produksinya, mungkin masih cukup untuk itu," kata Edi, Kamis (7/11/2024).
Apalagi, untuk implementasi B50 yang disebut Kementerian Pertanian akan diterapkan setahun setelah penerapan B40. Kendati demikian, dalam roadmap Kementerian ESDM disebutkan campuran sawit 50% pada bahan bakar diusulkan pada 2028.
Berdasarkan hitungan Edi, kebutuhan biodiesel untuk B50 mencapai 19,7 juta kiloliter. Kendati demikian, kapasitas produksi BBN saat ini sebesar 15,8 juta kiloliter sehingga terdapat kekurangan sebesar 3,9 juta kiloliter.
"Makanya untuk itu perlu dibangun lagi, sekitar 7-9 pabrik atau nanti meningkatkan kapasitas dari pabrik-pabrik yang ada," ujarnya.
Pabrik tersebut diperlukan untuk memproduksi CPO menjadi biodiesel. Menurut Edi, kekurangan pasokan tersebut menjadi peluang investasi yang dapat didorong kepada pelaku usaha dengan kebutuhan investasi mencapai US$360 juta.