Bisnis.com, JAKARTA — Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang akan berlaku pada 2025 ramai mendapatkan penolakan dari sejumlah lapisan masyarakat. Namun, di tengah gelombang penolakan itu, kenaikan PPN masih tetap direncanakan untuk berlaku.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Wahyu Utomo menegaskan bahwa terkait kenaikan tarif PPN tersebut, pemerintah senantiasa mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan fiskal, serta aspirasi dari masyarakat luas.
Meski dengan pertimbangan tersebut, Wahyu enggan menyampaikan secara gamblang rencana pemerintah pada tahun depan.
"Intinya pemerintah akan menentukan pilihan yang optimal bagi masyarakat dan perekonomian," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (19/11/2024).
Ketentuan kenaikan PPN menjadi 12% tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam Pasal 7 Bab IV beleid tersebut, tercantum ketentuan terbaru terkait tarif PPN. Di mana tarif PPN naik 1% menjadi sebesar 11% yang telah mulai berlaku sejak 1 April 2022.
"Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu.. sebesar 12% [dua belas persen] yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025," tulis huruf b ayat (1) Pasal 7 beleid tersebut, dikutip pada Selasa (19/11/2024).
Untuk diketahui, pemerintah mematok target Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) 2025 senilai Rp945,12 triliun. Target tersebut 15,4% lebih besar dari outlook tahun ini yang senilai Rp819,2 triliun.
Target APBN 2025 tersebut pun tercatat masih menggunakan asumsi PPN berada di angka 11%, bukan 12%. Artinya, penerimaan negara dapat jauh lebih besar jika menggunakan PPN 12%.
Hari-hari menuju 2025, pelaku usaha was-was terhadap daya beli masyarakat yang saat ini sedang tidak baik-baik saja akan semakin anjlok.
Bahkan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Cucun Ahmad Syansurijal mendorong agar rencana tersebut dikaji ulang. Dirinya khawatir akan berdampak terhadap kesejahteraan rakyat karena kenaikan pajak akan memiliki efek domino atau efek turunan.
"Tentunya hal ini harus dihindari, apalagi kemiskinan dan pengangguran semakin tinggi. Kenaikan harga-harga kita khawatirkan akan membuat masyarakat semakin sulit, padahal PR negara masih banyak, terutama dari sisi ekonomi kerakyatan," ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (19/11/2024).
Setelah sebelumnya tidak ada kejelasan akan kenaikan tarif PPN tahun depan karena menunggu pergantian pemimpin negara, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan sinyal rencana yang berangkat dari UU HPP tetap berlanjut.
"Jadi kami di sini sudah dibahas dengan bapak ibu sekalian sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa [jalankan]," ujarnya dalam Raker bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).
Bendahara Negara tersebut pun menegaskan pihaknya tidak akan memungut PPN secara ‘membabi-buta’. Dalam hal kenaikan PPN, menjadi kebutuhan dalam menyehatkan APBN yang jumlahnya tidak sedikit.
Pasalnya, pada saat bersamaan APBN harus menjalankan berbagai fungsi, termasuk shock absorber dalam merespon kondisi gejolak ekonomi global dan krisis finansial.