Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan pihaknya akan selalu melakukan evaluasi setiap kebijakan, termasuk kenaikan tarif pungutan ekspor kelapa sawit.
Febrio menjelaskan bahwa kenaikan tarif penguatan ekspor produk kelapa sawit dan turunannya merupakan keputusan dari Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Dia tidak menampik bahwa sejumlah pengusaha kelapa sawit memprotes kenaikan tarif penguatan tersebut. Oleh sebab itu, Febrio menegaskan pemerintah siap melakukan evaluasi apabila diperlukan.
"Kan selalu kita lihat perkembangan global, kebutuhan dari kebijakan kita untuk hilirisasi, itu pasti terus akan kita evaluasi," ujarnya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (19/5/2025).
Kenaikan tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit dan turunannya itu sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 30/2025 yang diundangkan pada 14 Mei 2025. Pengenaan tarif baru tersebut mulai berlaku tiga hari setelah PMK diundangkan alias 17 Mei 2025.
Adapun Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kementerian Keuangan Eddy Abdurrachman menjelaskan tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit untuk CPO dan produk turunannya berubah menjadi paling besar 10% dari Harga Referensi CPO Kementerian Perdagangan.
Baca Juga
”Besaran tarif pungutan ekspor dibagi ke dalam 5 kelompok jenis barang, yaitu Kelompok I dengan dengan tarif spesifik sesuai jenis barang, Kelompok II sebesar 10% dari harga CPO Referensi Kemendag, Kelompok III sebesar 9,5% dari harga CPO Referensi Kemendag, Kelompok IV sebesar 7,5% dari harga CPO Referensi Kemendag, dan Kelompok V sebesar 4,75% dari harga CPO Referensi Kemendag”, ujar Eddy dalam keterangannya, dikutip Sabtu (17/5/2025).
Dia menjelaskan dasar pertimbangan kenaikan tarif tersebut untuk keberlanjutan dari pengembangan layanan maupun dukungan pendanaan pada program pembangunan industri kelapa sawit nasional.
Menurutnya, kenaikan tarif bisa memperlancar BPDPKS melakukan peremajaan perkebunan kelapa sawit dan dukungan sarana dan prasarana perkebunan.
Dengan demikian, diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan petani hingga penciptaan pasar domestik terutama melalui program mandatori biodiesel sebagai bentuk dukungan dalam swasembada energi nasional khususnya energi baru dan terbarukan.
Protes Pengusaha
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung meyakini petani sawit merupakan kelompok yang paling terdampak dari kenaikan tarif pungutan. Pasalnya, naiknya beban ekspor CPO akan menekan harga tandan buah segar (TBS).
Dia menyebut, harga TBS berpotensi tertekan sebesar Rp300—Rp325 per kilogram. Padahal, saat PE sebesar 7,5% saja harga TBS sudah tertekan sebesar Rp225—245 per kilogram.
“Kenaikan tarif pungutan ekspor untuk minyak kelapa sawit atau crude palm oil dan produk turunannya dari 7,5% menjadi sebesar 10% dari harga referensi CPO tentu sangat mengejutkan kami petani sawit,” kata Gulat kepada Bisnis, Kamis (15/5/2025).
Gulat menuturkan, dalam 4 bulan terakhir, harga CPO semakin menurun. Berdasarkan catatan Apkasindo, harga CPO turun Rp1.500—Rp2.000 per kilogram pada awal 2025 ini.
Di sisi lain, Gulat menyebut, para eksportir CPO dan turunannya tidak berdampak signifikan dari kenaikan PE CPO menjadi 10%.
“Karena semua bebannya akan dipindahkan ke harga CPO dan selanjutnya produsen CPO akan memindahkan beban tersebut ke sektor hulu [penghasil TBS],” ujarnya.
Artinya, lanjut dia, beban penambahan PE sebesar 2,5% ini akan dipindahkan ke harga TBS melalui turunnya harga di tingkat pekebun.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan kenaikan pungutan akan berdampak pada lonjakan beban ekspor minyak sawit. Imbasnya, harga minyak sawit Indonesia tak lagi kompetitif dengan negara lain.
“Harga minyak sawit kita jadi lebih mahal dibandingkan harga negara tetangga,” kata Eddy kepada Bisnis, Rabu (14/5/2025).
Padahal saat ini, Eddy menyebut industri kelapa sawit dikenakan tiga bebani, yakni Domestic Market Obligation (DMO), pungutan ekspor (PE), dan bea keluar (BK). Dia mengungkap industri kelapa sawit menanggung total beban senilai US$221 per metric ton.
“Yang sebelum kenaikan pada posisi harga CPO Rp14.000 per kilogram, total beban adalah US$221 per metric ton. Sedangkan untuk kenaikan 10% kita belum menghitung berapa kenaikannya,” ujarnya.