Bisnis.com, JAKARTA — Sepanjang 10 tahun terakhir, pemerintahan Presiden Joko Widodo tercatat telah dua kali melaksanakan program pengampunan pajak alias tax amnesty pada 2016 dan 2022 untuk mencari tambahan penerimaan.
Berburu tambahan pendapatan negara tersebut nyatanya tak memberikan efek signifikan terhadap rasio pajak terhadap produk domestuk bruto (PDB) atau tax ratio.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang Bisnis himpun, tax ratio pada 2016 tercatat sebesar 10,36% atau turun dari posisi 2015 yang sebesar 10,76%. Sementara pada 2017, tax ratio melanjutkan tren penurunan ke angka 9,89%.
Kemudian naik ke angka 10,24% pada 2018. Kenaikan tersebut juga hanya bersifat temporer. Rasio pajak lagi-lagi terjun ke level 8,33% pada 2020, bahkan menjadi capaian terendah dalam dua era kepemimpinan Jokowi.
Pandemi Covid-19 menjadi alasan di balik merosotnya rasio pajak, seiring dengan rontoknya ekonomi Tanah Air, bahkan global.
Kemudian pada 2022 Jokowi mengeluarkan jurus Program Pengungkapan Sukarela (PPS) alias tax amnesty jilid II, sejalan dengan mulai bangkitnya ekonomi usai pandemi Covid-19.
Baca Juga
Program tersebut berhasil mengerek tax ratio menjadi 10,39%. Tanpa PPS, tax ratio 2022 hanya mencapai 10,08%. Capain tersebut juga lebih tinggi dari 2021 yang sebesar 9,12%, namun melandai ke angka 10,21% pada 2023.
Genap satu bulan Prabowo Subianto menjabat sebagai presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendukung visi misi RI 1 untuk menambah penerimaan negara melalui tax amnesty.
Tercermin dengan masuknya RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11/2016 tentang Pengampunan Pajak ke dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025.
Tidak heran, Prabowo membutuhkan tambahan anggaran jumbo untuk membiayai program kampanyenya meski rencana belanja negara tahun depan telah menyentuh angka Rp3.621,3 triliun.
Angka tersebut sudah lebih tinggi dari RAPBN 2025 yang senilai Rp3.613,1 triliun maupun APBN 2024 yang senilai Rp3.325,1 triliun.
Untuk membiayai APBN 2025, pemerintah telah menargetkan pembiayaan utang senilai Rp775,87 triliun.
Pemerintah pun telah melakukan pembiayaan lebih awal alias prefunding pada November 2024. Salah satunya dengan penerbitan Sukuk Global senilai US$2,75 miliar.
Adapun, langkah ini terpantau tidak sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 yang memandatkan pengurangan kebijakan pengampunan pajak.
"Meningkatkan penerimaan pajak dan mulai mengurangi kebijakan terkait relaksasi pajak [tax amnesty]," dikutip dari RKP 2025.
Langkah DPR dan pemerintah ini lantas mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, karena memberikan pengampunan bagi masyarakat kelas atas namun pada saat bersamaan menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang menekan masyarakat kelas menengah bawah.
Apa itu Tax Amnesty?
Melansir dari laman resmi Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Amnesti Pajak atau Tax Amnesty adalah program pengampunan pajak dari pemerintah agar para wajib pajak melaporkan sederet harta yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
Tax Amnesty merupakan instrumen pemerintah yang tidak semata-mata berfungsi sebagai sumber pendapatan negara (budgeter).
Tax amnesty berfungsi untuk memindahkan harta (regulern) dari orang kaya kepada orang miskin, memindahkan harta dari negara lain ke Indonesia (repatriasi), dan menaman modal (investasi) baru yang menciptakan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Amnesti pajak memanggil pada Wajib Pajak (WP) untuk mengembalikan harta yang banyak tersebar di berbagai negara untuk pulang ke Indonesia, sehingga pemerintah tak perlu melakukan penarikan pinjaman dari negara lain.
Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) pun sebenarnya dapat melacak keberadaan harta-harta setiap WP, terlebih akan meluncurnya Core Tax Administration System (CTAS).
Data yang diungkap pun mendapatkan jaminan tidak akan diperiksa kembali dan adanya kepastian hukum dari sisi perpajakan melalui Surat Keterangan Pengampunan Pajak.
Bercermin pada 2016 lalu, jika data yang masih disembunyikan terungkap maka akan dilakukan proses tindakan perpajakan sesuai ketentuanyang berlaku dan pengenaan sanksi kenaikan berupa denda 200% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.