Bisnis.com, JAKARTA — Belakangan penolakan kenaikan PPN menjadi 12% diserukan dari berbagai sisi. Kendati demikian, sebenarnya Presiden Prabowo Subianto bisa menurunkan tarif PPN hingga 5% dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah.
Sebagai informasi, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025 sudah diamanatkan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
UU HPP menetapkan bahwa tarif PPN naik jadi 11% pada 2022. Setelah itu, tarif PPN diatur untuk kembali naik jadi 12% pada tahun depan.
Dengan alasan amanat UU HPP, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah akan mencoba menjalankan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% tersebut meski banyak pihak yang menentangnya.
"Kita perlu siapkan agar itu [kenaikan PPN menjadi 12%] bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).
Padahal, UU HPP sudah menambahkan klausul yang memungkinkan penundaan kenaikan tarif PPN tersebut. Dalam Pasal 7 ayat (3) UU HPP disebutkan tarif PPN 12% pada awal 2025 dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
Baca Juga
Caranya dijelaskan dalam Pasal 4 UU HPP:
"
Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara."
Artinya, PPN 12% bisa dibatalkan lewat penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) oleh Prabowo setelah disampaikan ke DPR. Bukan hanya menunda atau membatalkan kenaikan, Prabowo bahkan bisa menurunkan tarif PPN hingga 5%.
Belakangan, penundaan hingga penurunan tarif PPN memang kerap disejumlah pihak terutama untuk memulihkan daya beli masyarakat yang sedang terpuruk. Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menjadi salah satu pihak yang menyerukan saran tersebut.
Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto menegaskan berbagai indikasi menunjukkan bahwa terjadi penurunan daya beli masyarakat. Dia mencontohkan, sejak Kuartal IV/2023, pertumbuhan konsumsi rumah tangga selalu lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi.
Oleh sebab itu, Prabowo perlu meningkatkan daya beli masyarakat terutama dalam 100 hari pertama pemerintahannya. Periode tersebut, sambungnya, merupakan saat-saat penentu ekspektasi pasar.
Jika awalnya sudah bagus maka setelahnya pasar akan mempunyai kepercayaan tinggi—begitu juga sebaliknya.
"Growth-nya, katakanlah konsumsi rumah tangga bisa di atas pertumbuhan ekonomi, lah. Kalau ada indikasi itu, ada ekspektasi baru. Kalau tetap melemah, sulit kita dikasih angka-angka yang terlalu ambisius," jelas Eko dalam diskusi publik Indef secara daring, Senin (18/11/2024).
Oleh sebab itu, dia mendorong kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Prabowo harus diarahkan untuk perbaikan daya beli. Apalagi, sambungnya, target pertumbuhan ekonomi Prabowo mencapai 8%.
Eko menjelaskan konsumsi rumah tangga butuh stimulus bukan malah diberi aneka kenaikan pungutan seperti kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12%. Menurutnya, kebijakan tersebut seakan hanya ingin menargetkan penerimaan negara tanpa melihat kondisi riil masyarakat.
"Harga-harga yang sebenarnya bisa dikendalikan pemerintah tapi tetap dipaksakan untuk naik ini tentu akan makin menggerus level konsumsi kita," ujarnya.