Dampak PPN 12%
Tidak hanya di medsos, banyak ekonom—jika tidak semua—juga menyerukan penundaan kenaikan tarif PPN. Institute For Development of Economics and Finance (Indef) misalnya.
Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan studi atas dampak kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025 berdasarkan kalkulasi model computable general equilibrium. Hasilnya, terjadi penurunan kinerja perekonomian secara keseluruhan.
Dia merincikan, ada delapan dampak negatif yang akan timbul secara bertahap akibat kenaikan PPN. Pertama, biaya produksi akan naik karena pelaku industri akan membutuhkan biaya lebih ketika membeli bahan baku atau bahan setengah jadi yang kemudian akan berdampak ke harga produk final.
Kedua, kenaikan harga produk/jasa akan membuat daya beli melemah. Ketiga, akibatnya utilitas penjualan tidak akan optimal—biasanya barang bisa terjual 100% kini hanya 60%, misalnya. Keempat, penyerapan tenaga kerja menurun.
"Karena enggak 100% lagi utilisasinya maka akan dikurangi input faktor produksinya termasuk penggunaan tenaga kerja. Ada yang dikurangi jam kerjanya, mungkin akan dikurangi jumlah pekerjanya," jelas Ahmad dalam diskusi publik Indef secara daring, Senin (18/11/2024).
Baca Juga
Kelima, otomatis upah juga akan menurun. Keenam, upah yang terkikis akan membuat konsumsi rumah tangga menurun.
Ketujuh, pemulihan ekonomi akan terhambat. Kedelapan atau terakhir, akibatnya pemulihan ekonomi akan terhambat sehingga pendapatan negara akan menurun.
Ahmad turut memaparkan hasil perhitungan Indef. Dia menjelaskan, kenaikan PPN menjadi 12% akan menurunkan nilai ekspor sebesar 1,41%, penurunan konsumsi rumah tangga sebesar 0,26%, hingga penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,17%.
"Jadi misalnya pertumbuhan ekonomi kita harusnya 5%, gara-gara ada kenaikan PPN, enggak jadi 5%, dikurang 0,17% jadi 4,83%," katanya.
Kemudian, upah riil akan berkurang 0,96%. Sejalan, inflasi akan naik 0,97%. Bahkan, jumlah total tenaga kerja akan turun hingga 0,94%.