Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Mamin Minta Sri Mulyani Tunda Implementasi PPN 12% pada 2025

Pengusaha makanan dan minuman (GAPMMI) meminta pemerintah mengkaji ulang soal PPN 12% karena dapat membuat industri makin tertekan
Salah satu fasilitas produksi industri makanan dan minuman - Istimewa/ Kemenperin.
Salah satu fasilitas produksi industri makanan dan minuman - Istimewa/ Kemenperin.

Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025. Kebijakan ini dinilai dapat menekan pertumbuhan industri mamin Tanah Air.

Ketua Umum Gapmmi Adhi Lukman menyampaikan, keputusan pemerintah mengerek PPN berpotensi menekan pertumbuhan industri mamin sehingga dapat memperlambat pemulihan ekonomi nasional.

“Apalagi pemerintah mencanangkan pertumbuhan ekonomi untuk menuju 8% perlu didukung semua sektor,” kata Adhi dalam keterangannya, Senin (25/11/2024).

Dia menuturkan, kebijakan ini berdampak besar terhadap seluruh rantai pasok, kenaikan bahan baku, dan biaya produksi. Akibatnya, harga jasa/produk melonjak sehingga berujung pada pelemahan daya beli masyarakat dan utilitas penjualan menjadi tidak optimal.

“Terlebih pada produk pangan yang sangat sensitif terhadap harga, masyarakat akan mengerem konsumsinya. Hal ini akan memperlambat laju konsumsi rumah tangga,” ujarnya.

Di sisi lain, pelemahan daya beli sudah mulai terlihat. Hal tersebut kata Adhi, tercermin dari konsumsi rumah tangga - yang merupakan penopang pertumbuhan ekonomi nasional - menunjukkan tren pelemahan. Tercatat, konsumsi rumah tangga pada kuartal III/2024 hanya mampu tumbuh 4,91%, lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya sebesar 4,93%. 

Dia mengatakan, industri mamin merupakan motor penggerak transaksi di berbagai pelaku ritel, baik di pasar  tradisional maupun modern. Menurutnya, peningkatan omzet dan peredaran uang melalui transaksi perdagangan dari berbagai kanal dapat membantu meningkatkan aktivitas ekonomi dan pendapatan negara.

“Strategi ini sangat penting untuk menciptakan stabilitas ekonomi sekaligus memperkuat kontribusi sektor perdagangan terhadap penerimaan negara,” ungkapnya. 

Selain itu, Gapmmi mengharapkan pemerintah untuk mempertimbangkan opsi lain untuk mengerek penerimaan negara. Misalnya, dengan menerapkan ekstensifikasi PPN yang masih berpotensi besar, dibandingkan menaikkan tarif. 

Apalagi sangat dimungkinkan dalam Undang-undang No.7/2021 pasal 7 ayat 3 menyatakan Tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. 

Dalam catatan Bisnis, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memberi sinyal bahwa penerapan PPN 12% tahun depan tidak akan ditunda. Pasalnya, Undang-undang (UU) No.7/2021 telah mengamanatkan bahwa PPN harus naik sebesar 1%, dari 11% menjadi 12%, pada 1 Januari 2025.

“Kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa [jalankan],” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada Rabu (13/11/2024).

Kendati begitu, Bendahara Negara memastikan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% tidak terjadi pada semua barang dan jasa. Kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi merupakan barang/jasa yang termasuk ke daftar PPN Dibebaskan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ni Luh Anggela
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper