Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 2025 berencana untuk menarik pinjaman luar negeri yang lebih besar 219% dari 2024, untuk membiayai program Presiden Prabowo Subianto yang telah tercantum dalam APBN.
Tercatat dalam lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201/2024 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran (APBN) 2025, pembiayaan utang direncanakan sejumlah Rp775,87 triliun.
Angka pinjaman luar negeri 2025 tersebut tercatat lebih besar Rp127,78 triliun atau naik 16,72% dari target 2024 yang senilai Rp648,08 triliun.
Meski pemerintah tetap mengandalkan pembiayaan dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang senilai Rp642,56 triliun, terpantau adanya kenaikan yang signifikan terhadap pinjaman luar negeri.
Pada 2024, Sri Mulyani merencanakan penarikan pinjaman luar negeri (bruto) senilai Rp67,75 triliun. Di mana pinjaman utamanya untuk kegiatan Pemerintah Pusat untuk kegiatan Kementerian/Lembaga (K/L) yang senilai Rp33,25 triliun.
Tahun depan, Bendahara Negara tersebut tercatat berencana menarik pinjaman luar negeri (bruto) sebanyak Rp216,5 triliun atau melejit hingga 219,55% dari 2024.
Baca Juga
Secara perinci, pinjaman berupa tunai akan ditarik senilai Rp80 triliun. Sementara Pinjaman Kegiatan dilakukan untuk Pinjaman Kegiatan K/L yang mencapai Rp125,52 triliun.
Kemudian sejumlah Rp1,59 triliun untuk Pinjaman Kegiatan Diterushibahkan dan Pinjaman Kegiatan kepada BUMN/Pemda tercatat senilai Rp9,38 triliun.
Sisanya, pemerintah berencana menggunakannya untuk membayar Cicilan Pokok Pinjaman Luar Negeri senilai Rp88,37 triliun.
Alhasil, Pinjaman Luar Negeri secara neto untuk tahun depan akan mencapai Rp128,12 triliun. Padahal pada tahun lalu, pemerintah membayar lebih banyak cicilan (Rp85,48 triliun) ketimbang penarikan (Rp67,75 triliun).
Adapun Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Suminto belum menjawab pertanyaan Bisnis terkait alasan pemerintah memilih menarik pinjaman luar negeri yang lebih banyak ketimbang dari dalam negeri.
Padahal, dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, kebijakan pembiayaan utang diupayakan dengan mengutamakan sumber pembiayaan utang dalam negeri.
Sri Mulyani mengklaim, bahwa kebijakan pembiayaan utang dikelola dengan menjaga prinsip akseleratif, efisien, dan seimbang.
Di mana akseleratif dalam arti mendorong pemanfaatan utang sebagai katalis pembangunan dan mendukung peran APBN sebagai shock absorber dalam menjaga momentum pertumbuhan dan percepatan transformasi ekonomi.